Lumajang-Kekerasan agraria di Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur kembali terjadi pada hari ini, Sabtu (26/9/2015). Dua orang warga desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian menjadi korbannya. Satu orang bernama Salim dinyatakan meninggal dunia, dan satu orang lainnya yang bernama Tosan mengalami luka kritis.
Menurut Rere, seorang pegiat lingkungan yang bermukim di Jawa Timur, mengatakan bahwa peristiwa ini bermula saat warga Desa Selok Awar-Awar hendak melakukan penghadangan terhadap aktifitas pertambangan pasir besi yang diduga milik Kepala Desa setempat. Dalam penghadangan tersebut, Salim dan rekan-rekan malah dihadapkan dengan 30 orang milisi sipil yang diorganisasi untuk kepentingan pertambangan pasir besi. Salim meninggal dunia setelah gerombolan milisi sipil menyerangnya dengan sabetan benda tajam dan dihujani dengan batu. Salim ditemukan dengan kondisi yang mengenaskan, terikat dan penuh luka sayatan. Sementara rekan Salim lainnya, Tosan, mengalami luka kritis dan saat ini sedang dirawat di rumah sakit terdekat.
Keberadaan pertambangan pasir besi di Desa Selok Awar-Awar memang telah lama ditolak oleh warga. Pasalnya, kehadirannya telah mengganggu sistem irigasi pertanian dan juga telah menyebabkan kekeringan sepanjang tahun 2015 di areal pertanian desa. Infrastruktur publik, seperti jalan juga tak luput dari kerusakan akibat lalu lalang truk pengangkut pasir.
Dari data yang dihimpun, didapatkan keterangan tambahan bahwa hadirnya kegiatan penambangan pasir besi di desa Selok Awar-Awar tidak luput dari peran Kepala desa setempat. Sekitar bulan Januari tahun 2015, Kepala Desa mengumpulkan warga desa di sekitar pantai Watu Pencak. Dalam pertemuan itu, Kades meminta persetujuan kepada warga untuk membangun kawasan wisata bahari di desa Selok Awar-Awar. Warga pun memberikan persetujuan atas keinginan Kepala Desa, dengan harapan, pengembangan kawasan wisata dapat menghadirkan perbaikan ekonomi bagi warga setempat.
Namun dua bulan pasca pertemuan tersebut, pembangunan kawasan wisata berubah menjadi areal kegiatan penambangan pasir besi. Melihat perkembangan yang terjadi, warga melakukan penolakan dengan mengadukan persoalannya ke DPRD Kabupaten Lumajang, dan mengirimkan surat protes ke Presiden Republik Indonesia, DPR-RI, Perhutani, Gubernur Jatim, Kapolri, Kapolda, dan DRPD Jatim.
Pasca penolakan tersebut, warga mendapatkan sejumlah intimidasi dari kelompok Kepala Desa. Dan terus memunculkan konflik yang berkepanjangan hingga hari ini.
Atas perisitiwa ini, sejumlah organisasi masyarakat sipil memberikan dukungan solidaritas terhadap perjuangan warga Desa Selok Awar-Awar. Salah satunya, dari Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo Yogyakarta. Widodo, salah seorang pengurus PPLP menyatakan “mengutuk keras atas tindakan brutal dari pihak penambang dan negara harus bertanggung jawab atas kekerasan agraria yang terjadi bumi Lumajang”. Ia menambahkan bahwa sudah sepantasnya segala macam aktifitas pertambangan di muka bumi ini dihentikan, agar tidak merusak lingkungan dan menimbulkan konflik sosial. (Fan).
Awal terjadinya penolakan aktivitas penambangan pasir oleh masyarakat Desa Selok Awar-Awar, dimulai sekitar bulan Januari 2015. Bentuk penolakan masyarakat berupa pernyataan sikap FORUM KOMUNIKASI MASYARAKAT PEDULI DESA SELOK AWAR – AWAR KECAMATAN PASIRIAN KABUPATEN LUMAJANG, yang dibentuk oleh 12 warga masyarakat, yaitu :
Bapak TOSAN
Bapak IKSAN SUMAR
Bapak ANSORI
Bapak SAPARI
Bapak SALIM / P. KANCIL
Bapak ABDUL HAMID
Bapak TURIMAN
Saudara M.HARIYADI
Saudara ROSYID
Saudara MOHAMMAD IMAM
Saudara RIDWAN
Bapak COKROWIDODO RS
Mereka melakukan gerakan advokasi protes tentang penambangan pasir yang mengakibatkan rusaknya lingkungan di Desa mereka dengan cara bersurat kepada Pemerintahan Desa Selok Awar-Awar, Pemerintahan Kecamatan Pasirian danPemerintahan Kabupaten Lumajang/Bupati Lumajang.
Sekitar bulan Juni 2015, FORUM warga menyurati Bupati Lumajang untuk meminta AUDENSI tentang penolakan tambang pasir. Tetapi tidak di respon oleh Bupati yang diwakili oleh CAMAT Pasirian. AUDENSI tersebut tentang keberatan FORUM warga terhadap aktivitas penambangan yang Izin penambangannya berkedok izin pariwisata.
Pada 9 September 2015 FORUM warga melakukan aksi damai penyetopan aktivitas penambangan pasir dan penyetopan truk muatan pasir di Balai Desa Selok Awar-Awar, yang menghasilkan Surat Pernyataan Kepala Desa Selok Awar-Awar untuk menghentikan aktivitas penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar.
Pada 10 September 2015 muncul pengancaman dan pembunuhan yang dilakukan oleh TIM PREMAN bentukan dari Kepala Desa Selok Awar – Awar kepada Bapak TOSAN. Tim PREMAN tersebut diketuai oleh P. DESIR. Dan sebelum itu juga ada beberapa anggota FORUM warga yang pernah diancam oleh TIM PREMAN tersebut.
Pada 11 September 2015 perwakilan FORUM warga melaporkan kejadian Tindak Pidana pengancaman ke POLRES LUMAJANG yang ditemui dan/atau diterima langsung oleh KASAT RESKRIM LUMAJANG Bapak HERI. Pada saat itu KASAT menjamin dan akan merespon pengaduan FORUM yang telah dikordinasikan dengan pimpinan POLSEK PASIRIAN.
Pada tanggal 19 September 2015, FORUM warga menerima Surat Pemberitahuan dari POLRES LUMAJANG terkait nama-nama Penyidik POLRES yang menangani kasus pengancaman tersebut.
Pada tanggal 21 September 2015 , FORUM warga mengirim Surat Pengaduan terkait ILEGAL MINING yang dilakukan oleh oknum Aparat Desa Selok Awar-Awar di daerah hutan lindung Perhutani.
Pada tanggal 25 September 2015, FORUM warga mengadakan kordinasi dan konsolidasi dengan masyarakat luas bahwa akan melakukan aksi penolakan tambang pasir dikarenakan aktivitas penambangan tetap berlangsung dilakukan oleh pihak Penambang. Rencana aksi dilakukan besok pagi harinya tanggal 26 September 2015 Pukul 07.30 WIB.
Pada tanggal 26 September 2015 kurang lebih pukul 08.00 WIB, terjadi penjemputan paksa dan penganiayaan terhadap 2 orang anggota FORUM warga yaitu Bapak TOSAN dan Bapak SALIM / P. KANCIL yang dilakukan sekelompok preman yang dipimpim oleh DESIR yang mengakibatkan meninggalnya Bapak SALIM/P.KANCIL dan Luka Berat; Bapak TOSAN.
Kejadian Alur TKP Korban P. TOSAN
Sekitar Pukul 07.00 WIB, Pak Tosan menyebar selebaran di depan rumahnya bersama saudara Imam, kemudian ada satu orang kebetulan melintas dan berhenti sempat marah-marah, setelah itu dia meninggalkan pak Tosan dan Imam.
Sekitar pukul 07.30 WIB, sekelompok preman sekitar kurang lebih 40 orang bermotor mendatangi P. TOSAN kemudian mengeroyok. Sebelum melarikan diri, Imam, teman korban sempat melerai kemudian preman berbalik ingin menyerang IMAM. Karena IMAM sendirian dan preman memakai dan membawa kayu, batu dan clurit, IMAM diminta korban untuk melarikan menyelamatkan diri dari lokasi tersebut. Kemudian pak Tosan melarikan diri dengan menaiki sepeda angin, namun masa terus mengejar. Pada saat di lapangan Persil, korban terjatuh, di aniaya dengan memakai pentungan kayu, pacul, batu dan celurit. Setelah korban terjatuh, preman sempat melindas dengan sepeda motor.
Kemudian setelah beberapa lama datang teman P.TOSAN yaitu RIDWAN yang telah menerima kabar bahwa P.TOSAN dianiaya oleh 30 orang lebih. Lalu RIDWAN hendak melerai preman agar melepaskan P.TOSAN. Kemudian para preman berbalik hendak mengeroyok RIDWAN, lalu RIDWAN menantang pimpinan preman, yang bernama Deser. Kemudian para preman berbalik dan meninggalkan P.TOSAN yang sudah penuh luka berat dan RIDWAN mengantarkan P.TOSAN ke PUSKESMAS Pasirian dan dirujuk ke RSUD Lumajang dan RS.BHAYANGKARA Lumajang.
Kejadian Alur TKP Korban Alm. P.SALIM/ P.KANCIL
Setelah dari menganiaya P.TOSAN, para preman menuju rumah P.SALIM/P.KANCIL. Selanjutnya para preman menjemput paksa P. SALIM/KANCIL di rumahnya. Pada saat kejadian, Alm Pak Kancil sedang mengendong cucunya yang masih berusia sekitar 5 tahun. Melihat gerombolan preman datang kerumahnya, korban menaruh cucunya dilantai, kemudian preman mengikat kedua tangan korban, memukuli dengan kayu dan batu. Kemudian preman membawa P.SALIM/P.KANCIL ke Balai Desa Selok Awar – Awar dengan cara diseret. Jarak rumah korban dengan Balai Desa sekitar 2 kilo meter. Pada saat di Balai Desa korban sempat mendapat penyiksaan berat. Selain dipukuli, digergaji lehernya, Almarhum juga disetrum. Kejadian ini kurang lebih setengah jam; antara jam 08.00-08.30 WIB, sampai menimbulkan kegaduhan, dan terdengar suara kesakitan dari P. SALIM/KANCIL di Balai Desa tersebut, yang pada saat itu ada proses belajar mengajar disekolah Anak – Anak PAUD di Desa. Peristiwa itu sampai mengakibatkan proses belajar mengajar di hentikan dan dipulangkan. Kemudian preman menyeret P.SALIM/KANCIL ke luar Balai Desa menuju tempat disekitar Makam Desa. Pada saat disekitar makam, korban diminta berdiri tangan terikat dan diangkat keatas, kemudian preman membacok perut selama tiga kali namun tidak menimbulkan luka sama sekali, kemudian kepala korban di kepruk pakai batu dan mengakibatkan korban meninggal posisi tertelungkup dengan tangan terikat/diikat dengan tambang. Tubuh terutama kepala korban penuh luka benda tumpul, di dekat korban banyak batu dan kayu berserakan.
Menurut kesaksian dari RIDWAN dan IMAM, para preman berjumlah kurang lebih 40 orang tersebut dipimpin oleh P. DESIR yang kesemuanya itu melakukan penganiayaan terhadap P.TOSAN dan kemungkinan besar juga pelaku yang sama terhadap pembunuhan P. SALIM/ P. KANCIL. Kesaksian RIDWAN dan IMAM telah dimintai keterangan di TKP oleh pihak Penyidik POLRES Lumajang dan menyebutkan beberapa nama pelaku penganiayaan dan Pembunuhan yang diketahui, yaitu :
DESIR
EKSAN
TOMIN
TINARLAP
SIARI
TEJO
ELI
BUDI
SIO
BESRI
SUKET
SIAMAN
JUMUNAM
SATUWI
TIMAR
BURI
MISTO
PARMAN
SATRUM
Dan Pelaku lainnya tidak diketahui namanya.
Untuk beberapa anggota FORUM lainnya, pasca kejadian tersebut berada di POLSEK PASIRIAN untuk meminta perlindungan keamanan.
Sekali lagi kekerasan terhadap pejuang pembela keselamatan lingkungan kembali terjadi. Sabtu, 26 September 2015, dua orang warga desa Selok Awar-Awar yang dikenal sebagai aktivis penolak tambang pasir yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, diambil paksa dari rumahnya, kemudian dianiaya oleh kurang lebih 40 orang hingga mengakibatkan satu orang meninggal dan satu orang terluka parah.
Tosan didatangi segerombolan orang pada sekitar pukul 07.30 WIB. Kurang lebih 40 orang dengan menggunakan kendaraan bermotor mendatangi rumah Tosan dengan membawa pentungan kayu, pacul, celurit dan batu. Tanpa banyak bicara mereka lalu menghajar Tosan di rumahnya, Tosan berusaha menyelamatkan diri dengan menggunakan sepeda namun segera bisa dikejar oleh gerombolan ini. Tosan ditabrak dengan motor di lapangan tak jauh dari rumahnya. Tak berhenti disitu, gerombolan ini kembali mengeroyok Tosan dengan berbagai senjata yang mereka bawa sebelumnya. Tosan bahkan ditelentangkan ditengah lapangan dan dilindas motor berkali-kali. Gerombolan ini menghentikan aksinya dan pergi meninggalkan Tosan setelah satu orang warga bernama Ridwan datang dan melerai.
Setelah selesai menghajar Tosan, gerombolan ini mengalihkan tujuannya menuju rumah Salim. Saat itu Salim sedang menggendong cucunya yang baru berusia 5 tahun, mengetahui ada yang datang berbondong dan menunjukkan gelagat tidak baik, Salim membawa cucunya masuk. Gerombolan tersebut langsung menangkap Salim dan mengikat dia dengan tali yang sudah disiapkan. Mereka kemudian menyeret Salim dan membawanya menuju Balai Desa Selok Awar-Awar yang berjarak 2 kilometer dari rumahnya. Sepanjang perjalanan menuju Balai Desa, gerombolan ini terus menghajar Salim dengan senjata-senjata yang mereka bawa disaksikan warga yang ketakutan dengan aksi ini. Di Balai Desa, tanpa mengindahkan bahwa masih ada banyak anak-anak yang sedang mengikuti pelajaran di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), gerombolan ini menyeret Salim masuk dan terus menghajarnya. Di Balai desa, gerombolan ini sudah menyiapkan alat setrum yang kemudian dipakai untuk menyetrum Salim berkali-kali. Tak berhenti sampai disitu mereka juga membawa gergaji dan dipakai untuk menggorok leher Salim. Namun ajaibnya hampir semua siksaan dengan benda tajam yang ditujukan ke tubuh Salim seolah tidak mempan. Melihat kenyataan bahwa Salim tidak bisa dilukai dengan benda tajam dan keadaan balai desa yang masih ramai, gerombolan tersebut kemudian membawa Salim yang masih dalam keadaan terikat melewati jalan kampung menuju arah makam yang lebih sepi. Di tempat ini mereka kemudian mencoba lagi menyerang salim dengan berbagai senjata yang mereka bawa. Baru setelah gerombolan ini memakai batu untuk memukul, Salim ambruk ke tanah. Mendapati itu, mereka kemudian memukulkan batu berkali-kali ke kepala Salim. Di tempat inilah kemudian Salim meninggal dengan posisi tertelungkup dengan kayu dan batu berserakan disekitarnya.
Kekerasan yang terjadi di desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang ini semakin menegaskan bahwa perlindungan terhadap warga yang berjuang mempertahankan lingkungan dan ruang hidupnya belum terjamin di negeri ini. Sebelum peristiwa penyerangan yang menyebabkan tewasnya Salim, Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang sudah mengadukan ancaman yang dialamatkan kepada mereka. Pada 11 September 2015, Forum sudah melaporkan secara resmi ancaman kepada Tosan ke Polsek Pasirian, namun laporan ini tidak mendapatkan tanggapan yang cukup. Karena nama-nama mereka yang memberikan ancaman sama sekali tidak diproses oleh pihak kepolisian. Orang-orang yang dilaporkan tersebut juga yang kemudian benar-benar melakukan penyerangan terhadap Tosan dan Salim. Jika pihak kepolisian memiliki kesungguhan untuk melindungi keselamatan warga, sejatinya peristiwa tragis ini tidak perlu harus terjadi.
Perihal penolakan warga terhadap aktivitas pertambangan, sesungguhnya juga sudah berlangsung lama. Bukan hanya di Selok Awar-Awar, penolakan aktivitas pertambangan di pesisir selatan Lumajang telah menimbulkan keresahan dan penolakan di berbagai tempat. Sebelumnya di Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun, aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT ANTAM juga telah menimbulkan konflik. Konflik serupa juga muncul di desa Pandanarum dan Pandanwangi, Kecamatan Tempeh, Kabupaten Lumajang. Panjangnya daftar konflik akibat aktivitas pertambangan pasir besi di kawasan pesisir selatan Lumajang ini rupanya tidak menjadi pelajaran bagi Pemerintah Kabupaten Lumajang beserta aparat keamanannya. Meskipun telah banyak diketahui bahwa tambang-tambang tersebut banyak yang beroperasi secara ilegal dan merusak lahan pertanian pesisir pantai sehingga rentan berkonflik dengan kepentingan petani penggarap lahan pesisir, sama sekali tidak ada tindakan tegas yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. Padahal jika situasi ini terus dibiarkan, konflik yang terjadi akibat aktivitas pertambangan akan terus memburuk di Kabupaten Lumajang.
Oleh sebab itu, Tim Advokasi Tolak Tambang Pasir Lumajang yang terdiri dari: Laskar Hijau, WALHI Jawa Timur, KONTRAS Surabaya, dan LBH Disabilitas dengan ini menyatakan:
Mendesak Kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya untuk serius dalam mengusut para pelaku pembantaian terhadap Salim Kancil dan Tosan hingga aktor intelektual (intellectual daader) dibalik peristiwa kekerasan di desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang tersebut, dan mengganjar pelaku dengan hukuman seberat-beratnya sesuai pasal 340 KUHP
Mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang untuk segera menutup seluruh pertambangan pasir di pesisir selatan Lumajang.
Meminta agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk segera memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban
Meminta Komnas HAM agar segera turun ke lapangan dan melakukan Investigasi
Meminta Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk memberikan trauma healing kepada anak dan cucu dari alm. Salim Kancil serta anak-anak PAUD yang menyaksikan insiden penganiayaan alm Salim Kancil di Balai Desa Selok Awar-Awar.
Cp :
Rere Christanto ( Walhi Jatim) 083857642883
Fatkhul Khoir (KontraS Surabaya) 081230593651
A’ak Abdullah Al Kudus (Laskar Hijau) 081337339911
Kawasan di sepanjang pesisir selatan Lumajang merupakan kawasan berstatus Hutan Produksi yang kewenangannya diberikan kepada Perhutani. Di Jember dan Banyuwangi sebagian kawasan pesisir selatan berstatus Hutan Produksi, Hutan Lindung, Cagar Alam, dan Taman Nasional.
PT ANTAM dapat konsesi seluas 584,4 H melalui SK Dirjen Pertambangan Umum No. 30.k/24.02/DJP/2000 tertanggal 7 Februari, Tahun 2000.
Proposal KK Pertambangan Emas oleh PT Jember Metal dan Banyuwangi Mineral di seluruh kawasan selatan Jember dan Banyuwangi seluas 58.000H Ditolak warga.
Tahun 2002:
PT ANTAM berhenti karena alasan situasi pasar dan ekonomi.
Tahun 2005:
BPKP menemukan potensi kerugian negara 5 M akibat kerjasama antara Pemkab Lumajang dengan PT Mutiara Halim dalam pengelolaan penimbangan pasir.
Tahun 2008:
Pemilihan Kepala Daerah Lumajang. Terpilih, Bupati: Sjahrazad Masdar, Wakil Bupati: As’at Malik.
Tahun 2009:
Disahkan UU Minerba NO. 04 Tahun 2009.
Tahun 2010:
PT ANTAM memperpanjang izin Eksplorasi 462,2 Hektar di Desa Wotgalih, kecamatan Yosowilangun.
IMMS mendapat IUP Produksi dengan SK Bupati 503/436/427.14/2010 seluas 1.195 Ha.
Tanggal 28 April di Paseban, 3 Surveyor
IMMS ditolak dan disandera oleh masyarakat. Konsesi yang disurvey PT. IMMS adalah konsesi kepunyaan PT. Agtika Dwi Sejahtera melalui SK. 541.3/029/411/2010 seluas 491,8 Hektar meliputi kawasan Paseban, Jember.
Tahun 2011:
Pada 16 Mei 2011 delapan Surveyor PT Antam diusir oleh warga Wotgalih.
17 September 2011 empat warga anti tambang di Wotgalih ditangkap dan dikriminalisasi.
Tahun 2011, terbit 57 IUP dan IPR melalui SK Bupati.
IUP Produksi PT. IMMS terbit melalui SK Bupati: 188.45/224/427.12/2011 seluas 872,1 Hektar.
Bulan Maret warga Wotgalih demo tolak tambang PT ANTAM.
Bulan Mei, warga Wotgalih minta alat berat milik PT ANTAM ditarik dari pesisir Wotgalih. Warga anti tambang diserang kelompok pro.
Tahun 2012:
SK Produksi PT. IMMS No. 188.45/247/427.12/2012 (sumber dari Dinas ESDM Jatim). (?) Keluar SK Eksplorasi PT. IMMS No. 503/302/427.14/2012 dengan luasan 4.398 H meliputi Pasirian, Tempeh, Kunir, Yosowilangun.
Keluar Peraturan Menteri SDM No. 7 tahun 2012 , mengatur tentang kewajiban olah KP produk yang akan diekspor: Emas, Tembaga, Perak, Timah, Timbal, Bisi Besi,Pasir Besi, nikel dan lainya;
10 Mei, Sosialisasi dan konsultasi Amdal PT IMMS di Lumajang dibubarkan oleh warga Wotgalih. Vita Alfiana Direktur PT IMMS keluarkan pernyataan tidak akan menambang;
Desember 2012, keluar izin penjualan Pasir Besi dan transportasi dari Gubernur Jatim dan kepala kordinasi dan investasi BKPM ke PT Dampar Golden Internasional (DGI). PT IMMS memiliki 40% saham di PT DGI.
Tahun 2013:
Bulan Januari, Masa desa Bades Kecamatan pasirian Lumajang membakar pabrik PT IMMS karena tidak ada kontribusi kepada masyarakat.
Mei, pemilihan Kepala Daerah Lumajang. Terpilih, Bupati: Sjahrazad Masdar, Wakil Bupati: As’at Malik.
Juli 2013, penambang pasir tradisional memprotes operasi alat-alat berat penambangan di wilayah desa Gondoruso, Pasirian.
Melalui PT. DGI , PT IMMS melakukan ekspor sebesar 10..000 metrik ton Pasir Besi melaui pelabuhan Tembaga Probolinggo menuju pelabuhan Qingdao China (masuk 10 pelabuhan terbesar di dunia) pada September.
Retribusi Pasir Besi ke Pemkab untuk PT IMMS sebesar 700 juta/ tahun. PT. IMMS klaim retribusi yang diserahkan ke pemkab sebesar 16 M.
Tahun 2014:
11 Januari 2014 keluar PP No. 1 tahun 2014 ttg Perubahan PP No. 23 tahun 2010 tentang kegiatan usaha pertambangan mineral dan Batubara.(Smelter).
Sejak Januari, PT IMMS melalui Vita Alfiana menyatakan perusahaan tidak aktif.
Juni,PT IMMS tidak aktif (versi Dewi -ESDM Jatim).
19 Agustus 2014 Pansus DPRD Lumajang mengeluarkan rekomendasi kepada Bupati untuk melakukan pembinaan pengawasan, dan penertiban penambangan liar dan pemegang izin – kedua mendesak bupati mencabut izin pertambangan PT IMMS dan 14 IPR yang telah dikeluarkan karena izinnya cacat hukum; mendesak para pihak untuk menindak lanjuti kerugian yang ditimbulkan akibat kegiatan tambang, kerusakan jalan dan lingkungan.
September, Kejaksaan Tinggi JATIM periksa pejabat yang terkait pertambangan di Lumajang.
Sejak 31 Oktober Stockpile yang ada di Probolinggo milik PT DGI disegel oleh satpol PP.
Nopember 2014 stockpile PT. Tambang Mas Gemilang disegel Polres Lumajang.
Nopember 2014 seorang penjaga portal dibunuh didesa Bades.
Petani Selok Awar Awar mulai protes, mereka dihajar preman penambang.
Tahun 2015:
Kades fasilitasi pertambangan dengan dalih wisata.
Februari, Kejaksaan Tinggi JATIM tetapkan Dirut PT IMMS dan Pejabat DLH Lumajang sebagai tersangka.
Sekitar Maret, Warga Selok Awar Awar mengadu ke DPR RI, dll.
Juni, warga Selok Awar Awar pengajuan audiensi ke bupati tapi disuruh ke kecamatan dan ketemu camat;
Juni perempuan tewas dibondet (bom ikan) di Yosowilangun.
Bulan Juli 2015 ketua DPRD Agus Wijaksono menyebut penambangan ilegal kejahatan paling besar.
Ketua RW Dusun Krajan 2 yang menolak tambang dibacok 2 orang tidak dikenal;
9 September aksi damai di balai desa dan kepala desa menandatangani surat pernyataan penghentian penambangan.
Tanggal 10 september ancaman pembunuhan ke pak Tosan.
Tanggal 11 Pengaduan ke Polsek atas ancaman dari preman – warga juga menghadang truk.
Tanggal 12 Bupati menyatakan akan memfasilitasi BUMDesa tambang;
Tanggal 14 September warga menanyakan tentang laporan ke Polres, ditemui Kasat Reskrim;
Tanggal 23 September melayangkan pemberi tahuan ke Polres.
Tanggal 26 September Penculikan, Penganiayaan Tosan, dan Pembunuhan Salim Kancil.
Demak – Senin siang (16/11/2015), rombongan aksi massa Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), telah tiba di Kabupaten Demak. Sebelum tiba di Demak, mereka telah menempuh perjalanan panjang, sekitar 70 kilometer, dengan berjalan kaki dari Pati. Rencananya, aksi jalan kaki ini akan dilanjutkan hingga Semarang. Saat ini, pukul 14.00 WIB, rombongan JMPPK memutuskan untuk beristirahat sejenak di komplek makam Sunan Kalijaga, Kadilangu, dan berencana akan melanjutkan aksi kembali pada pukul 18.00 WIB.
Aksi jalan kaki yang akan menempuh perjalanan lebih dari 100 kilometer ini diikuti oleh 300-an warga yang berasal dari Pati dan daerah pegunungan Kendeng sekitarnya, seperti Blora dan Rembang. Aksi yang dilakukan oleh JMPPK ini ditujukan untuk menuntut pemerintah membatalkan rencana pembangunan pabrik semen di kawasan pegunungan Kendeng dan membatalkan Keputusan Bupati Pati Nomor. 660.1/4767 Tahun 2014.
Menurut Ani, salah seorang perempuan peserta aksi yang berasal dari desa Brati, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, mengatakan bahwa dengan hadirnya pabrik semen di desanya justru akan menghancurkan kehidupan pertanian dan ekonomi warga. Karena sumber mata air yang ada di desanya akan rusak dan menghilang. “kami tidak rela jika desa kami, dan desa-desa lainnya di sekitar pegunungan Kendeng dirusak oleh pertambangan, kami tidak butuh tambang”, tambahnya.
Selain diikuti oleh warga pegunungan Kendeng, aksi jalan kaki ini juga mendapat dukungan dan solidaritas dari beberapa daerah, seperti Indramayu, Porong dan Yogyakarta. JMPPK menargetkan akan tiba di Semarang pada Selasa (17/11/2015), 07.00 WIB dini hari. Dan selanjutnya, pukul 09.00 WIB akan berkumpul di kantor pengadilan PTUN Semarang, untuk mendesak hakim PTUN mengabulkan tuntutan warga JMPPK. (Fan).
Semarang- Setelah menempuh perjalanan dengan berjalan kaki sejauh 90 kilometer dari kampung halamannya, Pati, rombongan aksi warga Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), akhirnya tiba di ruas jalan Pantura, Demak-Semarang pada Senin (16/11/2015), pukul 17.30 WIB.
Walaupun bergelut dengan matahari yang secara pasti terus bergeser ke Barat, dan warna langit yang mulai gelap, langkah kaki para peserta aksi tetap terlihat semangat. Rencananya, mereka menargetkan akan tiba di Semarang sebelum pukul 02.00 WIB agar sedikit memiliki waktu untuk beristirahat sebelum selasa pagi datang, dimana hari sang hakim PTUN akan membacakan putusan yang menyangkut kelangsungan ruang hidup ekologi warga JMPPK.
Seperti yang diketahui sebelumnya, pada tanggal 8 Desember 2014, Bupati Pati, Haryanto, mengeluarkan surat ijin lingkungan dengan nomor 660.1/4767 tahun 2014. Terbitnya surat tersebut memberikan peluang kepada PT. Sahabat Mulia Sakti (SMS), anak perusahaan PT. Indocement untuk melakukan penambangan kapur di wilayah kecamatan Kayen dan Tambakromo.
Akibatnya, warga pegunungan Kendeng, khususnya yang berada di Kayen dan Tambakromo, menjadi resah karena lingkungan pertanian dan mata air yang ada akan rusak jika pertambangan tetap dipaksakan untuk beroperasi. Situasi ini terus mendorong munculnya gelombang penolakan yang terus meluas dari warga agar rencana penambangan PT SMS dibatalkan. Salah satunya adalah dengan cara menempuh melakukan gugatan terhadap Bupati di PTUN Semarang.
Menurut Zainal Airifin, kuasa hukum warga JMPPK, mengatakan bahwa sedari awal terbitnya surat ijin lingkungan yang diteken Bupati itu telah bertentangan dengan beberapa perundang-undangan, seperti Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Keputusan Menteri ESDM Nomor 0398/K/40/MEM/2005 tentang Penetapan Kawasan Karst Sukolilo dan juga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Selain itu ia juga menambahkan bahwa terbitnya surat ijin lingkungan tersebut tidak pernah melibatkan warga dari proses awal, dan dalam penyusunan dokumennya, terdapat beberapa pemalsuan data, seperti jumlah mata air dan sebaran lokasi gua. Dengan fakta ini, dia berharap, putusan hakim PTUN besok akan mengabulkan tuntutan warga JMPPK, demi lahirnya rasa keadilan, sekaligus kritik terhadap pembangunan yang menyesatkan. (Fan).
Aksi kekerasan dan penggusuran dalam rangka pembangunan bandara baru Yogayakarta di kecamatan Temon, Kulon Progo, terjadi lagi pada hari Selasa 16 Februari 2016. Kurang lebih 1000 aparat gabungan dari Kepolisian, Satpol PP dan TNI diturunkan di beberapa titik dalam rangka mengawal pematokan yang dilakukan oleh pihak BPN Kulon Progo. Belum jelas pematokan ini dalam rangka apa, karena terdapat kesimpangsiuran informasi di warga; apakah untuk mencocokan data pertanahan karena adanya pendataan yang salah, atau untuk koordinat lainnya.
Proses pematokan berlangsung di beberapa titik tempat: 1. Desa Palihan, Kragon II, jam 10.00 pagi, 2. Bapangan, Glagah, jam 11.30, 3. Sidorejo, jam 11.30 dan 14.30. Bentrokan tak terelakkan, aparat main unjuk kuasa dengan kekerasan, padahal warga tak melakukan kekerasan. Kejadian yang paling panas terjadi di Sidorejo sekitar pukul 14.30, pematokan tersebut terjadi pada tanah di daerah pemukiman.
Aksi pematokan kedua di Sidorejo yang disertai dengan kekerasan, terjadi di dekat rumah Bu Mardy. Warga yang kebanyakan para petani dari Wahana Tri Tunggal (WTT), yang semenjak awal mengawal proses pematokan, tetap keberatan dengan proses pematokan tersebut. Seperti aspirasi sebelumnya, para warga yang berjumlah kurang lebih ratusan orang ikut berkumpul, baik bapak-ibu, pemuda dan anak-anak.
Aparat kepolisian yang mengawal jalannya pematokan dipimpin langsung oleh Kapolres Kulonprogo AKBP Nanang Djunadi S.IK. Sedari awal Polri tidak memberi ruang negosiasi kepada para warga yang berkumpul. Selanjutnya aksi kekerasan pun terjadi, seperti hujan pukulan dan tendangan, serta intimidasi lainya. Bahkan dalam kekerasan ini, sempat ada anak-anak yang terinjak saat polisi membubarkan warga yang berkumpul. Ada juga warga yang di cekik dan jatuh pingsan. Bahkan beberapa barang milik petani seperti motor dan meja bibit tanaman cabai di pekarangan juga sampai rusak. Kesemuanya akibat polisi memaksa dan main kekerasan untuk merengsek masuk. Seorang ibu-ibu, juga sempat dipaksa diborgol oleh aparat. Para warga hanya menangis dan mengeluhkan aksi kekerasan yang tak manusiawi.
Berikut ini adalah nama-nama yang menjadi korban aksi kekerasan oleh pihak kepolisian :
Prayogo Andi Wibowo
Dita Prihantanto
Muhamdi
Warsiyad
Dwi Sukantar
Suwanto
Suroto
Sukirman
Wagino
Sipiyo
Perempuan :
Sunarti
Elli
Tri
Sumarni
Suprihatin (Di bawa ke puskesmas karena pingsan terkena injak dan pukul)
Kekerasan dalam proses rencana pembangunan bandara baru di Kulonprogo ini menunjukan pihak pemerintah memang lebih mengedepankan upaya paksa dan kekerasan untuk suksesi pembangunan.
Proyek bandara baru ini merupakan salah satu proyek MP3EI, dan dijalankan dengan dasar UU No 2 tahun 2012 tentang Pembebasan lahan untuk Kepentingan Umum. Proyek ini menunjukan model pembangunan yang syarat dengan perampasan tanah dan mengkerdilkan posisi tawar rakyat dalam pembangunan, khususnya kaum tani.
Selain itu, dalam kasus ini juga berhembus kabar bahwa para warga adalah penggarap tanah milik Paku Alaman Ground (PAG), dan oleh karena itu tidak akan di beri ganti rugi. Padahal jika merujuk pada data lapangan, banyak dari mereka yang sudah puluhan tahun menggarap lahan dan saat proses konsultasi publik yang lalu mereka di undang sebagai pihak yang berhak. Aksi kekerasan ini semakin menunjukan bahwa pihak pemerintah D.I Yogyakarta melakukan upaya-upaya yang mengarah pada penggusuran paksa yang bertentangan dengan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi oleh UU No 11 tahun 2005. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian juga bertentangan kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi dengan UU No 12 tahun 2005.
“Wawancara dengan Pak Parno dkk di Pesisir Kulon Progo”
Sejak ditemukannya sistem irigasi “sumur renteng” pada awal tahun 1980-an, masyarakat pesisir Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) beramai-ramai memanfaatkan lahan mereka, yang terletak di pesisir pantai sebagai areal lahan pertanian produktif. Di atas lahan tersebut, kini, beragam jenis tanaman holtikultura telah tumbuh dengan sangat subur dan memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan ekonomi rumah tangga. Sebelum ditemukannya sistem irigasi sumur renteng, kawasan pesisir tersebut nyaris tidak di usahai secara permanen sebagai kawasan pertanian, karena lahannya dikenal cukup kering, gersang, dan hanya bertumpu pada pengairan “tadah hujan”.
Dengan sistem irigasi sumur renteng, masyarakat petani pesisir Kulon Progo kini tidak lagi pernah khawatir akan kekurangan air. Ketersediaan air “tawar” yang selanjutnya digunakan sebagai sumber pengairan lahan pertanian pesisir diketahui merupakan hasil dari sebuah proses pengikatan senyawa unsur besi (fe) terhadap air laut yang berlangsung secara alamiah. Dapat diketahui bahwa di sepanjang pesisir Kulon Progo dan selatan pulau Jawa membentang hamparan pasir “hitam” yang disebut sebagai pasir besi dalam jumlah yang melimpah.
Namun, sejak pertengahan 2006, kegiatan pertanian yang diusahai oleh petani pesisir lahan pantai Kulon Progo tersebut harus berhadap-hadapan dengan rencana pembangunan pertambangan pasir besi yang hak lisensinya dikuasai oleh PT Jogja Magasa Iron (PT JMI). PT JMI merupakan transformasi dari sebuah perusahaan bernama PT. Jogja Magasa Mining (JMM). Perusahaan ini didirikan oleh beberapa orang yang berasal dari keluarga Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Puro Pakualaman, yakni: GBPH Joyokusumo, GKR Pembayun dan BRMH Hario.
Rencana pembangunan industri keruk tersebut semakin mendapatkan legitimasi kuat sejak terbitnya Kontrak Karya (KK) pada tanggal 4 November 2008, yang memberikan peluang kepada PT JMI beroperasi di atas lahan seluas 2.987,79 hektar, dengan ijin operasi selama 30 tahun. Diprediksi bahwa cadangan besi yang terdapat di atas lahan tersebut mencapai 33,6 juta ton, dan tiap tahunnya akan diproduksi sekitar 1 juta ton. Purnomo Yusgiantoro, selaku menteri ESDM, saat penandatangan KK, mengatakan bahwa proyek investasi pertambangan yang akan dijalankan memiliki nilai investasi pertambangan sebesar USD 600 juta, dan untuk investasi infrastrukturnya mencapai USD 1,1 miliar. Dalam menjalankan rencana bisnis keruknya, PT JMI menggandeng sebuah perusahaan asal Australia, yaitu Indomines Ltd, dengan komposisi kepemilikan saham sebesar 30 persen untuk PT JMI, dan sisanya, 70 persen, untuk PT Indomines Ltd.
Rencana pendirian pertambangan ini memicu lahirnya gerakan perlawanan petani pesisir lahan pantai yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP). Di dalam mengorganisasi perlawanannya, PPLP mampu menghimpun kekuatan dari 5 desa, yang bakal terkena dampak dari pembangunan pertambangan yang akan dilakukan oleh PT JMI. Desa-desa tersebut adalah: Karang Sewu, Bugel, Plered, Garongan dan Karangwuni. Di dalam perjuangannya hingga saat ini, gerakan perlawanan PPLP di desa karang Wuni mengalami sedikit kerontokan, pasca sebagian besar dari masyarakat pesisir Karang Wuni menjual lahan mereka kepada pihak pertambangan.
Pertengahan Februari 2016 lalu, tim selamatkanbumi.com mencoba melakukan wawancara kepada salah seorang warga desa Karang Wuni, yang tetap mempertahankan lahannya. Berikut hasil wawancara tim selamatkanbumi.com:
Wawancara Pertama:
Bisa perkenalkan nama dan latar belakang kasus anda?
Nama saya Suparno, berdomisili di desa Karangwuni dan asli putera daerah Karangwuni. Karangwuni adalah salah satu desa yang terkena dampak dari rencana pembangunan pertambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo.
Terkait dengan perjuangan warga Karangwuni menolak kehadiran tambang, waktu itu, masyarakat Karangwuni masih solid dalam menolak kehadiran pertambangan pasir besi. Tapi setelah ada trik dari pihak tambang, akhirnya masyarakat Karangwuni mulai tidak solid. Kondisinya setelah ada trik tersebut, masyarakat mulai tergiur dengan iming-iming yang di tawarkan. Namun ada 4 orang yang tetap bertahan dan tidak menjual tanahnya kepada pihak tambang. Dan saya adalah salah satunya dari 4 orang tersebut.
Namun terkait dengan penolakan saya itu, Camat, Sekretaris Kecamatan, dan Lurah datang ke rumah saya untuk memberitahukan bahwa tanah yang kami diami adalah tanah Paku Alaman (PA). Tapi saya tidak mengakuinya. Dan kemudian terkait dengan sikap saya itu, datang somasi kepada saya dari PA agar saya melepaskan tanah yang saya diami selama ini. Hingga hari ini ada 3 somasi yang datang dari PA. Untuk melemahkah perjuangan saat itu, sempat ada ajakan dari PA untuk mengajak tokoh-tokoh masyarakat bertemu di hotel, diberikan sesuatu berupa sejumlah uang untuk bisa menjatuhkan perjuangan masyarakat. Tapi kami berempat tidak mengubris.
Akhir-akhir ini PA mensertifikasi tanah yang ada di Karangwuni, bahkan katanya sudah punya surat kepemilikan dalam bentuk Letter C. Terkait dengan hal tersebut, justru sebenarnya saya yang berhak punya Letter C, bukan PA.
Sepanjang pengetahuan saya, sebenarnya tidak ada lagi tanah PA di pesisir Kulon Progo karena Sultan HB IX pada tahun 1984 menyatakan sudah kembali ke UUPA dan tidak ada lagi dualisme hukum pertanahan di Provinsi DIY. Terkait dengan perjuangan anda dkk hingga saat ini, intimidasi apa yang anda dapatkan ketika masih bertahan?
Ya itu, PA memberikan somasi kepada saya 3 kali, dari tahun 2014-2016. Tapi saya tidak menggubris. Karena kalau itu memang tanah mereka, ngapain mereka datang ke tempat saya.
Apa isi somasi tersebut?
Saya disuruh mengosongkan lahan dan mengambil kompensansi.
Berapa jumlah kompensasi yang ditawarkan?
1 meter 75 ribu rupiah. Kami 4 orang tidak mau. Setelah kami menolak, datang surat somasi kedua yang bunyinya agar saya segera mengosongkan lahan sejak 6 bulan surat somasi diterbitkan. Jika tidak, saya akan di bawa ke ranah hukum.
Bagaimana dengan keadaan masyarakat yang sudah mengambil kompensasi?
Ya setelah menerima uang itu, kehidupan mereka mewah. Ada yang digunakan untuk memperbaiki rumah, membeli kendaraan, dll. Tapi akhir-akhir ini, uang itu sudah 90 persen habis.
Tahun berapa sih kompensasi “massal” tersebut?
Tahun 2013.
Berapa orang yang sudah menyerahkan tanahnya?
Banyak. Ratusan orang.
Kenyataan sekarang, pabrik tambang pasir besi dibangun apa tidak?
Sekarang mulai dibangun kantor. Tapi pabrik pengolahannya belum.
Berapa luas total lahan di Karangwuni yang sudah dilepaskan oleh warga kepada pihak tambang?
Kurang lebih 168 hektar. Semua lahan itu sekarang di pagar oleh pihak tambang. Termasuk tanah saya yang di klaim menjadi milik mereka.
Wawancara Kedua:
Saya dengar bahwa baru-baru ini anda di panggil oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)? Terkait apa pemanggilan tersebut?
Lah itu awal mula ceritanya, kami melihat pengumuman di balai Desa Karangwuni. Di umumkan bahwa pesisir Karangwuni akan disertifikasi menjadi milik Paku Alaman Ground (PAG). Di umumkan juga dengan batas waktu selama 60 hari, apabila ada masyarakat keberatan terkait pengumuman tersebut, maka dianjurkan untuk mengajukan surat keberatan kepada BPN. Setelah pengumuman tersebut, saya memberikan surat keberatan kepada BPN melalui LBH.
Beberapa minggu kemudian, BPN menyurati kami lewat LBH, yang isinya mengajak bertemu kami di BPN. Di BPN, petugas BPN menceritakan bahwa lahan kami itu adalah tanah PA. Tapi saya mengatakan PA punya tanah di Karangwuni itu dari mana.
Dan selanjutnya menjadi semakin aneh karena BPN mengatakan bahwa tanah PA tersebut sudah punya Letter C (bukti kepemilikan). BPN mengatakan akan melakukan mediasi antara kami dan PA. Namun saya melihat, sepertinya BPN menggiring kami masuk ke ranah mereka untuk selanjutnya dimasukkan ke ranah hukum.
HB IX mengatakan pada tahun 1984, tidak ada dualisme hukum pertanahan di DIY, dan kembali ke UUPA. Artinya SG dan PAG sudah dihapus. Tapi dalam kasus anda muncul lagi cerita bahwa tanah PAG seolah-olah masih ada. Dan menjadi aneh jika BPN juga mengamininya. Lalu sekarang menghadapi apa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap anda, apa yang akan anda lakukan?
Untuk sementara kami diamkan. Kalau BPN memang bersikukuh untuk melanjutkan sertifikasi, kami akan lihat proses sertifikasinya seperti apa. Kan harus ada saksi-saksi dari lingkungan sekitar kami. Dan yang jelas pasti akan cacat hukum. Kami akan menggugat.
Apakah anda dan 3 orang yang lainnya tetap bertani saat ini?
Kami tetap bertani. Walaupun lahan kami telah berkurang karena telah di pagar oleh pihak tambang (JMI). Jika dulu sebelum ada kasus ini penghasilan kami tiap tahunnya mencapai 100 juta rupiah, sekarang cuma 25 juta rupiah. Tanah kami bertiga saat ini semuanya di pagar oleh pihak JMI.
Bagaimana aktifitas anda keluar masuk keluar pagar?
Sangat sulit untuk masuk ke tanah kami yang di pagar. Kami sekarang tidak memiliki aktifitas di lahan tersebut (yang telah di pagar). Tanah saya yang dipagar oleh mereka itu luasnya hampir 7000 meter.
Terus anda bertani di lahan mana sekarang?
Kami bertani di suatu lahan, dimana ada orang yang iba melihat kami, terus dia memberi lahan kepada kami untuk dipakai bertani. Apa yang menjadi catatan menurut anda terhadap kasus yang anda hadapi, dan mungkin juga bisa terjadi di tempat lain di DIY?
Sebenarnya dalam proyek tambang pasir besi ini Indonesia cuma dapat royalty tidak sampai 3 persen, sisanya 97 persen untuk kapitalis (perusahaan). Indonesia ini namanya dibohongi dan dijajah secara politik dan ekonomi. Mengapa pemerintah menyetujui dengan royalty yang sedemikian kecilnya.
Wawancara Ketiga:
Di tahun 1918 lahir Riksblad 1918, yang mana selanjutnya menjadi dasar lahirnya SG dan PAG. Inilah sejarah pertama kali lahirnya SG dan PAG yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda. Kemudian pasca Indonesia merdeka, tahun 1960 lahir UUPA, dan dalam UUPA Diktum IV dikatakan bahwa tanah bekas swapraja (seperti SG dan PAG) menjadi objek landreform. Dan keraton sebagai kerajaan/swapraja bukan subjek hak menurut UUPA. Lalu pada tahun 1984, HB IX menyatakan untuk kembali ke UUPA secara penuh sebagai landasan hukum pertanahan di DIY. Akibatnya adalah SG dan PAG sebagai bentuk tanah swapraja yang merupakan bentuk sisa warisan hukum pertanahan kolonial telah di hapus. Hal tersebut di kuatkan oleh terbitnya: Keppres 33/1984, Kepmendagri 66/1984, dan Perda DIY 3/1984. Terkait dengan ini, apakah kasus perampasan atas nama SG dan PAG cuma ada di kasus anda saja di DIY?
Sebenarnya sudah jelas dengan keputusan HB IX tersebut, bahwa SG dan PAG sudah tidak ada lagi. Artinya tanah di Kulon Progo sudah menjadi tanah negara atau milik masyarakat. Berarti munculnya wacana SG dan PAG saat ini cuma alat yang digunakan untuk merampas tanah masyarakat, seperti kasus saya.
Apakah kasus demikian cuma menimpa anda saja?
Di DIY sendiri, kasus atas nama SG dan PAG sudah semakin marak. Seperti di Gunung Kidul, Kulon Progo, Malioboro dan dimana-mana.
Jika mencermati belakangan ini di daerah Temon, Yogyakarta, yang bakal terkena dampak pembangunan Bandara juga muncul kasus atas nama PAG. Terkait dengan hal ini, apakah kasus tersebut terkait dengan lahirnya UU keistimewaan di Yogyakarta yang mungkin menjadi pintu untuk menghidupkan kembali wacana SG dan PAG?
Itu ada kaitannya. Dengan UU tersebut, seenaknya kraton mengatakan bahwa ada SG dan PAG. Padahal legalitasnya sudah tidak ada.
Karena sepengetahuan saya, UU Keistimewaan tidak mengatur tentang pertanahan, karena hal itu kan sudah di atur dalam UUPA. Terkait hal ini, yaitu meluasnya kasus perampasan serupa atas nama SG dan PAG, apakah menurut anda masyarakat Yogyakarta secara luas sudah tahu tentang sejarah pertanahan tersebut?
Sebenarnya, menurut saya, masyarakat Yogyakarta tidak banyak tahu tentang itu.
Kalau mengamini ada SG dan PAG, berarti kan tidak mengetahui sejarah pertanahan yang terjadi. Lalu terkait dengan kondisi banyaknya warga Yogyakarta yang tidak tahu tentang hal tersebut, apa yang harus dilakukan?
Masyarakat harus mencari informasi sebenarnya seperti apa birokrasi di Yogyakarta dan hak-hak ruang hidup di Yogyakarta. Agar tidak ada lagi ada perampasan serupa.
Tapi dalam kasus anda, BPN sebagai petugas negara malah menyebut tanah yang anda di diami adalah tanah PAG. Padahal BPN sendiri seharusnya petugas yang bekerja dengan mengacu pada UUPA. Lalu BPN DIY ini mengacu pada hukum pertanahan UUPA atau yang lain?
Sebenarnya kalau BPN menjalankan tugasnya dengan mengacu pada UUPA, maka harus condong kepada kepentingan masyarakat. Tapi yang terjadi di Kulon Progo ini malah sebaliknya. Masyarakat di pesisir Kulon Progo ini sudah menggarap lahan mereka puluhan tahun. Terkait dengan hal ini sebenarnya kalau BPN mengacu pada UUPA, justru BPN menghantarkan langkah masyarakat kepada bagaimana masyarakat dipermudah untuk dapat memiliki sertifikat kepemilikan. Sehingga legalitasnya menjadi kuat. Tapi kenyataannya, BPN lebih berpihak kepada kepentingan PAG.
Kalau memanglah itu tanah PAG ngapain pihak PA memberikan ganti rugi?
Itu katanya untuk kompensasnsi penghargaan terhadap masyarakat Karangwuni yang telah membersihkan dan merawat tanah PAG.
Hmm jadi itu seolah-olah membenarkan adanya tanah PAG. Dan kompensansi itu bukan untuk ganti rugi tanah warga secara hukum, dan malah membenarkan adanya PAG dengan ungkapan terima kasih telah merawat tanah PAG?
Kalau itu tanah PAG, mengapa ada surat datang kepada saya sampai 3 kali. Hal itukan fakta nyata.
“Studi Kasus Desa Mangsang, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan”
Oleh: Muhammad Afandi
Mangsang di Tengah Gempuran Modal
Mangsang adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Desa Mangsang terdiri dari 5 dusun dan tergolong sebagai desa yang memiliki luas wilayah terluas daripada desa-desa lainnya di Kecamatan Bayung Lencir. Dari dokumen desa (RPJMDes 2010-2015), disebutkan bahwa desa ini memiliki luas wilayah kurang lebih 405.000 hektar. Desa ini memiliki batas-batas wilayah yang meliputi; sebelah Utara berbatasan dengan sungai Betaling, Provinsi Jambi, dan di Selatannya berbatasan dengan desa Simpang Tungkal. Sementara di bagian Baratnya berbatasan dengan Sungai Kenawang, dan di bagian Timur berbatasan langsung dengan Sungai Bakung dan Sungai Beduri.
Dari penuturan para sesepuh desa, didapatkan berbagai informasi terkait bagaimana asal muasal terbentuknya desa Mangsang. Mereka menceritakan bahwa asal muasal terbentuknya desa Mangsang memiliki sejarah yang cukup panjang. Penduduk awal Mangsang menurut cerita sesepuh desa adalah orang-orang yang berasal dari arah Palembang dan diyakini sudah bermukim di Mangsang dari sejak abad 17. Mereka datang ke Mangsang dengan cara menempuh jalur sungai Musi menggunakan perahu-perahu kecil dan pada akhirnya terus menyusuri Sungai Lalan. Dan oleh karena itulah penduduk asli Mangsang ini disebut bermarga Lalan. Penamaan marga Lalan ini terkait erat dengan keberadaan sungai Lalan, sungai yang bersebelahan langsung dengan desa Mangsang.
Di awal kedatangannya di Mangsang, mereka pada umumnya hidup berpindah-pindah secara berkelompok di sepanjang sungai Lalan sebagai pengumpul rotan, damar, dan kayu-kayuan. Dengan gaya hidup nomaden, mereka bertempat tinggal di atas rumah yang dibangun di atas perahu, atau yang disebut sebagai rumah terapung. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, mereka membangun sistem pertanian gilir balik di sepanjang sungai Lalan yang mereka lalui. Ladang-ladang yang dikelola, dibangun tidak jauh dari rumah perahu yang mereka sandarkan. Di sepanjang sungai Lalan ini terdapat 4 kampung, yaitu: Kampung Sungai Kubu (sekarang Karang Agung), Kampung Nyarang (sekarang Muara Merang), Kampung Mangsang dan Kampung Mendis. 4 kampung ini dipimpin oleh seorang Pasirah, dan tiap-tiap kampungnya dipimpin oleh seorang Krio.
Sungai adalah bagian terpenting bagi kehidupan orang Mangsang. Selain berfungsi sebagai jalur transportasi untuk mengangkut hasil-hasil ladang dan hutan, juga berfungsi sebagai areal tempat pemukiman dan tempat penyedia makanan.
Seiring berjalannya waktu, pola hidup yang berpindah-pindah di sepanjang sungai Lalan, mulai berubah dan ditinggalkan oleh sebagian penduduk, seiring terintegrasinya sebagian penduduk dengan ekonomi uang. Situasi itu dapat terlihat saat munculnya ladang-ladang tanaman komoditas karet pada awal tahun 1910. Sebagian dari mereka mulai hidup menetap dan mendirikan rumah-rumah di daratan di sepanjang sungai Lalan dan membentuk perkampungan di darat. Perkampungan darat ini terus semakin meluas, seiring dengan pembukaan areal-areal hutan yang dialih fungsikan sebagai kawasan pertanian menetap. Dari sinilah muncul kampung Mangsang Darat, yang menjadi cikal bakal terbentuknya Desa Mangsang.
Pada akhir tahun 1940an, sebagian besar dari penduduk Mangsang melakukan migrasi ke daerah-daerah lain. Diantaranya melakukan migrasi ke lokasi yang sekarang disebut sebagai Ibukota Kecamatan Bayung Lencir. Perpindahan ini salah satunya disebabkan terbukanya akses jalan Lintas Palembang-Jambi yang mulai beroperasi di awal tahun 1950an.
Hingga tahun 1978, eksistensi sistem pemerintahan Marga yang dipimpin oleh Pasirah di Mangsang masih berlaku. Namun setahun setelahnya, pasca berlakunya UU No. 5 Tahun 1979, sistem pemerintahan marga telah diganti oleh rejim ORBA menjadi pemerintahan yang dipimpin oleh Kepala Desa. Dalam studinya, Fuller (2008: 25), mengatakan bahwa perombakan administratif dan politik tersebut telah mendorong perluasan kekuasaan pemerintah dalam penguasaan hutan-hutan di Sumatera Selatan sekaligus melemahkan kewenangan tradisional sistem pemerintahan marga atas hak-hak pengelolaan sumber daya alam yang mereka kelola sebelumnya. Selain itu, UU tersebut, juga memberikan wewenang kepada Camat dan Kepala Desa untuk merekomendasikan konsesi tanah untuk hutan industri dan perkebunan-perkebunan kelapa sawit. Dari sinilah kemudian, cerita bagaimana hutan-hutan di Musi Banyuasin dan wilayah-wilayah lainnya di Sumatera Selatan diubah menjadi areal industri ekstraktif yang menguntungkan bagi sekelompok pemburu rente kapital, baik swasta ataupun yang disebut sebagai milik negara.
Mangsang terus mengalami transformasi yang cukup massif, baik secara sosial, ekonomi, budaya maupun ekologi, khususnya saat memasuki pertengahan tahun 1990an. Masuknya korporasi-korporasi perkebunan raksasa seperti PT. London Sumatera (PT Lonsum) dan PT Pinang Sawit Mas (PT PWS), pada tahun 1996, mendorong kerapatan penduduk dan krisis sosial-ekologis yang cukup ekstrim. Penduduk dari luar daerah Mangsang mulai berdatangan secara bergantian dan tinggal menetap, baik yang datang untuk bekerja sebagai buruh di korporasi perkebunan, ataupun datang sebagai warga yang hendak mengadukan nasibnya sebagai petani tanaman komoditas dengan modal skala kecil. Sebagian besar para penduduk pendatang yang mengadukan nasibnya sebagai petani, mulai membuka areal-areal ladang dan perkebunan tanaman komoditas dengan cara membeli lahan dari kepala-kepala kampung. Akibatnya, kampung-kampung baru mulai tumbuh dan berkembang di sekitar kampung asli pinggiran sungai Lalan, dan terus meluas hingga ke daerah-daerah pinggiran hutan.
Saat ini, Mangsang telah dikepung oleh puluhan korporasi yang bergerak di bidang perkebunan dan pertambangan. Diantaranya adalah: PT. Lonsum, PT. PWS, PT. MSA, PT. SBN, PT. Conoco Philips, PT. MNC dan PT. Gudang Garam. Puluhan ribu hektar lahan yang masuk dalam wilayah administrasi Desa Mangsang telah melayang dan dikonsesikan sebagai areal Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan dan kawasan pertambangan yang diberikan oleh pemerintah Pusat maupun Daerah. Situasi padat modal ini mendorong penduduk-penduduk asli semakin tercerabut di wilayah sosial-ekologinya sendiri. Areal-areal yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai kawasan perladangan dan basis pertanian pangan, pelan-pelan mulai menyusut. Begitu juga dengan fungsi sungai, sama-sama bernasib naas. Hingga saat ini (tahun 2015), walaupun masih terdapat penduduk yang tinggal di atas 50 rumah terapung di Mangsang, namun sungai tidaklah berfungsi sebagaimana sebelum jaman padat modal datang.
Produksi Minyak dan Gas Bumi di MUBA, Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten MUBA
Sungai kini telah berubah fungsi menjadi jalur transportasi pengangkutan batu bara dan beberapa tanaman komoditas milik korporasi. Cerita sungai sebagai tempat bersemayamnya ikan-ikan, sumber vitamin dan ekonomi bagi penduduk di sekitar sungai, kini tinggal kenangan yang harus ditutup rapat-rapat akibat semakin terus meluasnya sirkuit kapital.
Bagi sebagian penduduk asli ataupun pendatang yang berhasil memiliki lahan perladangan dan perkebunan, mungkin masih bisa bertahan untuk mencukupi beberapa kebutuhan pokok rumah tangga. Namun bagi sebagian lain, khususnya mereka yang tergolong sebagai warga yang tidak memiliki sarana produksi, seperti penduduk rumah terapung, harus hidup sebagai buruh tani di korporasi-korporasi yang berproduksi di Mangsang ataupun ladang-ladang milik warga lain.
Mangsang yang terletak di Provinsi Sumatera Selatan ini, merupakan salah satu desa yang strategis bagi para pemburu rente kapital abad 21. Di dalamnya terdapat kelimpahan sumberdaya alam yang dapat diekstraksi menjadi sumber-sumber keuntungan baru bagi korporasi raksasa. Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya korporasi yang berdiri di atas wilayah desa Mangsang dengan ragam jenis operasi ekstraksi, yakni perkebunan dan pertambangan.
Percepatan transformasi serta pembongkaran sumberdaya alam yang ada di dalamnya, yang terlihat terus semakin massif belakangan ini tentunya juga tidak terlepas dari pembentukan pulau Sumatera sebagai koridor “sentra produksi dan pengelolaan hasil bumi dan energi nasional” yang dalam hal ini ditetapkan dalam desain Master Plan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Pembentukan koridor tersebut harus dipandang sebagai dinamika pergerakan kapital yang terus akan menguntungkan kapitalis untuk menghindari cara produksi kapitalis yang selama ini selalu menghasilkan krisis (Yanuardi dan Rahman, 2014: 32). Dengan cara pandang yang demikian, maka tidak mengejutkan jika masyarakat di sekitar sabuk kapital akan terus dalam berada posisi yang paling rawan untuk disingkirkan demi kelancaran blok-blok produksi modal. Situasi ini terus memicu terjadinya peningkatan konflik agraria di sudut-sudut desa pinggiran hutan, ataupun desa yang diklaim masuk dalam wilayah teritori hutan negara di hampir seluruh provinsi Sumatera Selatan.
Secara geografis dan administratif, serbuan padat modal ini juga terus mendorong perubahan batas-batas wilayah dan kependudukan di Mangsang. Jika sebelum tahun 2002, desa ini masih terdiri dari 1 dusun, pada tahun 2003-2005, desa ini telah berkembang menjadi 5 dusun. Begitu juga dengan jumlah penduduknya, dimana tahun 1993 masih tercatat hanya berjumlah 175 KK, kini pada tahun 2015 telah berkembang menjadi 7500 KK dengan total populasi kurang lebih mencapai 17.000 jiwa.
Foto Lahan yang Dikuasai PT Lonsum di Desa Mangsang, Sumber: Pribadi
Kepemilikan Tanah di Desa Mangsang
Sebelum datangnya era padat modal pada pertengahan tahun 1990an yang terus meluas hingga era awal abad 21 saat ini, Mangsang adalah sebuah desa yang masih terdiri dari 1 dusun. Situasi secara umum bagaimana 1 Dusun di era itu, sedikitnya dapat tergambarkan oleh penuturan Karim, seorang warga yang kini bermukim di dusun 2. Ia menceritakan bahwa pada tahun 1993, penduduk Mangsang tidak lebih dari 175 Kepala Keluarga (KK), dan jumlah tersebut masih terpusat di Dusun I yang terletak di pinggir sungai Lalan.
Hampir keseluruhan penduduk dusun I, saat itu masih bermata pencaharian sebagai pencari ikan di sungai, pengumpul rotan, damar dan kayu-kayu jenis lain. Namun sebagian lain juga ada yang mulai mengembangkan model perkebunan tanaman komoditas skala kecil-sedang, khususnya karet. Tetapi secara kuantitas, jumlahnya masih dididominasi oleh jenis mata pencaharian yang tergantung dengan hasil hutan dan sungai. Hal itu dapat dilihat dengan jumlah angka model pemukiman terapung yang masih tinggi.
Model pemukiman terapung dan darat dapat mencirikan bagaimana jenis mata pencaharian penduduk yang ada di Mangsang. Bagi warga yang tergolong sebagai pengumpul hasil hutan dan sungai, maka ia akan membangun model pemukiman di atas sungai. Begitu sebaliknya, bagi mereka yang sudah terintegrasi dengan model pertanian menetap, maka ia akan membangun perumahan di darat. Hingga tahun 1993, model pemukiman terapung, menurut Karim masih berjumlah 80 persen dari total keseluruhan pemukiman yang ada. Sisanya, 20 persen, merupakan pemukiman darat.
Keberadaan masyarakat rumah terapung ini, pada tahun 1995 sempat diintervensi oleh negara. Mereka dikategorikan sebagai kelompok suku masyarakat terasing, dan dengan ungkapan yang bernada negatif disebut sebagai keturunan Suku Anak Dalam yang perlu ditata dan direlokasi ke dalam model pemukiman yang menetap di darat. Relokasi ini diharapkan dapat mendorong mereka ke dalam sistem ekonomi padat modal, yaitu menjadi petani dengan sistem perladangan menetap ataupun menjadi menjadi buruh-buruh perkebunan milik korporasi. Hal itu, salah satunya dikuatkan dengan adanya kegiatan pelatihan bercocok tanam tanaman komoditas yang pemerintah selenggarakan secara rutin. Termasuk pemberian modal dalam bentuk pinjaman. Mereka juga dijanjikan akan diberikan sertifikat kepemilikan lahan secara sah. Dengan model demikian, ideologi pembangunan dan sistem pertanian menetap yang terintegrasi dengan sistem kapitalisme perkebunan semakin menjadi terbangun dan pasar-pasar baru akan tanaman komoditas menjadi semakin luas. Dari sinilah cerita ideologisasi perkebunan, menguatnya sistem ekonomi uang, perubahan makna akan tanah dan melenyapnya sistem pertanian subsisten mulai terjadi dan meluas di kalangan orang-orang yang disebut sebagai penduduk asli Mangsang.
Akibatnya, dengan perubahan itu, pertumbuhan industri perkebunan di wilayah Mangsang terus semakin meluas dan mencapai puncaknya pada awal tahun 2000. Situasi ini terus mendorong migrasi penduduk dari luar Mangsang ke wilayah Mangsang bertambah semakin tinggi. Kampung-kampung baru terus bermunculan di sekitar kawasan-kawasan areal konsesi perkebunan. Kampung-kampung tersebut berfungsi sebagai sebuah kawasan “kantung” tenaga kerja murah bagi industri perkebunan. Di lain pihak ia juga berperan sebagai “agency” untuk memperluas ideologi sistem pertanian tanaman komoditas perkebunan bagi masyarakat setempat yang masih kurang tertarik untuk menanam tanaman komoditas. Salah satunya, secara sadar atau tidak, seperti apa yang dilakukan oleh Karim dkk. Ia beserta 150 KK penduduk yang berasal dari Jawa mulai membentuk satu perkampungan, dan membuka areal-areal perkebunan dan pertanian yang dibeli dari penduduk setempat. Sebelumnya mereka merupakan para pekerja pemotong kayu yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan kayu, yang tersebar di beberapa wilayah kecamatan dalam administrasi Kabupaten Banyuasin. Namun karena pekerjaan tersebut dianggap tidak menjanjikan masa depan ekonomi yang lebih baik, mereka memilih untuk merintis areal-areal perkebunan. Tiap-tiap KK, para kelompok pendatang ini, di awal perintisannya, rata-rata membeli tanah dengan ukuran 1 kapling (2 ha). Hingga tahun 2003, kampung yang dirintis oleh Karim dkk, telah berkembang menjadi kampung yang penduduknya mencapai 522 KK. Kampung tersebut selanjutnya menjadi dusun II di Desa Mangsang.
Berbeda dengan Mansur, Hajir dan Andi. Mereka adalah para penduduk yang datang dari Jawa di awal tahun 1994 yang ingin mengubah nasibnya sebagai petani sukses dengan cara menjadi peserta transmigrasi di Banyuasin. Di awal kedatangannya, mereka ditempatkan di sebuah kawasan transmigrasi di pulau Rimau, kabupaten Banyuasin. Namun kawasan transmigrasi yang mereka diami, mereka anggap sebagai kawasan yang tidak memadai dan kurang menguntungkan. Faktornya adalah banjir dan sistem pengairan yang tidak efisien. Situasi itu semakin diperparah dengan hadirnya beberapa korporasi perkebunan di sekitar mereka tinggal, yang seringkali menimbulkan bencana banjir terhadap ladang-ladang yang mereka kelola. Tak pelak, ratusan hektar tanaman padi yang mereka usahai menjadi rusak dan hal itu mendatangkan kerugian dalam jumlah besar.
Oleh karena situasi yang demikian, Mansur, Andi dan beberapa rekannya mencoba untuk memilih menjadi buruh serabutan pemotong kayu di sekitar Musi Banyuasin. Tak lama setelahnya, mereka juga mencoba untuk membuka areal perkebunan di sekitar Mangsang. Dari sisa tabungan yang mereka miliki, mereka membeli beberapa kapling lahan, yang mereka anggap masih tergolong murah dari warga Mangsang dengan surat yang diterbitkan oleh Kepala Desa Mangsang. Mula-mula untuk dapat bertahan hidup, areal yang mereka miliki, dikelola sebagai areal perkebunan kepala sawit. Namun, dikarenakan tanaman kelapa sawit baru bisa dipanen saat telah berusia 5 tahun, maka untuk menutupi kebutuhan pangan dan kebutuhan pokok harian lainnya, mereka bekerja sebagai buruh tani di ladang-ladang milik warga di sekitar Mangsang ataupun buruh perkebunan di korporasi-korporasi perkebunan. Selebihnya, waktu senggang yang dipunyai, dimanfaatkan untuk merawat dan mengontrol tanaman komoditas yang mereka usahai, dengan harapan perawatan rutin yang mereka kerjakan bisa mempercepat masa usia panen datang lebih cepat. Hadirnya para warga pendatang ini menjadi berkah bagi sebagian korporasi perkebunan yang membutuhkan tenaga kerja murah. Bagi korporasi perkebunan mempekerjakan warga pendatang ini lebih menguntungkan karena dianggap lebih giat bekerja dan rela dibayar dengan upah murah.
Lambat laun, perkampungan yang dirintis oleh Andi dkk terus berkembang menjadi sebuah kasawan padat penduduk. Dan pada tahun 2004, kampung yang mereka diami berubah menjadi dusun 3 dan 4.
Kini, desa Mangsang telah berubah menjadi sebuah desa yang terdiri dari 5 dusun dan 43 RT. Dari luas total wilayah desa Mangsang, luas pertanian dan perkebunan yang dimiliki masyarakat jumlahnya telah mencapai 12.000 hektar. Dari luas total lahan yang dimiliki masyarakat tersebut, 80 persennya ditanami oleh jenis tanaman komoditas kelapa sawit, dan sisanya adalah karet dan padi. Sementara dari data yang didapatkan dari beberapa wawancara kepada sebagian perangkat desa, didapatkan sejumlah informasi bahwa lahan milik korporasi perkebunan angkanya melebihi 50 ribu hektar. Dan menurut perangkat desa, angka luas lahan tersebut mungkin bisa lebih, dikarenakan minimnya informasi dan sosialisasi pihak korporasi perkebunan terkait lahan yang mereka kelola terhadap pihak pemerintah desa.
Dari jumlah keseluruhan penduduk yang bermukim di Mangsang, setidaknya dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok menurut jumlah kepemilikan sarana produksi (tanah) yang mereka punyai. Yakni: Pertama, Kelompok petani pemilik lahan ukuran besar. Kelompok ini dikategorikan sebagai kelompok yang menguasai dan memiliki tanah lebih dari 5 ha. Kedua, Kelompok petani pemilik lahan ukuran sedang. Kelompok ini dikategorikan sebagai kelompok yang memiliki tanah 3-5 ha. Ketiga, Kelompok petani pemilik lahan ukuran kecil. Kelompok ini dikategorikan sebagai kelompok yang memiliki lahan kurang dari 3 ha. Dan, Keempat, Kelompok yang tak berpunya; buruh tani. Kelompok ini digolongkan sebagai kelas yang tidak memiliki sarana produksi sama sekali, dan menggantungkan hidupnya dari menjual tenaga kerjanya kepada kelas yang menguasai dan memiliki sarana produksi; menjadi buruh tani ataupun buruh perkebunan.
Dari penelitian yang dilakukan dengan merujuk pada hasil wawancara mendalam dan pemeriksaan statistik yang terdapat di dokumen desa, didapatkan keterangan bahwa kelas buruh tani angkanya mencapai 45 persen dari total keseluruhan jumlah penduduk di Mangsang. Sisanya dapat digolongkan sebagai berikut: 25 persen kelompok petani lahan kecil, 20 persen kelompok petani lahan sedang, 10 persen kelompok petani lahan besar. Dan yang mencengangkan adalah, di dalam kelas buruh tani tersebut terdapat setidaknya 50 KK yang disebut sebagai penduduk asli Mangsang yang hidup di atas perumahan terapung.
Pilkades dan Dinamika Perebutan Ruang
Bulan Januari tahun 2015 lalu adalah bulan yang istimewa bagi sebagian besar penduduk Desa Mangsang. Mereka menyebutnya sebagai bulan “pesta demokrasi” yang ramainya mampu mengalahkan Pemilu Presiden tahun 2014. Di bulan tersebut digelar sebuah perhelatan Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) yang diikuti oleh 4 calon. Saat itu masing-masing calon diperhitungkan sama-sama memiliki kekuatan seimbang.
Diantara 4 calon tersebut, 1 orang calon merupakan calon incumbent yang berasal dari dusun 1, sementara 3 calon lainnya adalah berasal dari dusun 3 dan 4. PILKADES tersebut dimenangkan oleh calon incumbent dengan perolehan suara yang cukup besar. Bahkan total perolehan suara dari 3 calon lainnya jika digabungkan tetap saja tidak mampu mengimbangi hasil suara yang didapatkan dari calon incumbent.
Setidaknya jika dicermati kembali, keberhasilan calon incumbent yang bernama Zainal Arifin (ZA) dalam PILKADES lalu, merupakan fenomena yang menarik untuk diperiksa. Pasalnya, ia bukan hanya sekedar calon yang memiliki modal yang cukup besar, baik secara ekonomi; Kelompok petani pemilik lahan besar, namun juga memiliki modal kultural yang cukup diperhitungkan. Modal terakhir yang dimilikinya itu ternyata mampu menggerakkan suara pemilih yang pada awalnya tidak terhitung sebagai suara pemilih dirinya.
ZA merupakan calon satu-satunya yang dianggap sebagai keturunan penduduk asli Mangsang. Namun ZA bukanlah warga yang masih tinggal di atas rumah terapung, melainkan sudah menetap di daratan, dan bahkan di anggap sebagai pengusaha sukses. Istrinya adalah seorang anggota DPRD Kabupaten Musi Banyuasin.
Ia oleh para penduduk pendatang dianggap tahu seluk beluk bagaimana sejarah asal usul tanah di desa Mangsang. Dengan modal itu, para penduduk pendatang dari kalangan orang Jawa di Mangsang lebih memilih dirinya daripada calon yang berasal dari kalangan orang Jawa sendiri. Hal itu terbukti pada jumlah perolehan suara di kantung-kantung pemukiman Jawa yang dalam penghitungan suara lebih besar menggunakan suaranya memilih ZA. Fenomena ini menggambarkan bagaimana dinamika pertarungan politik pedesaan, khususnya dengan melihat keberadaan sikap politik para pendatang yang lebih memilih dirinya. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan penulis kepada beberapa informan di dusun 3 dan 4, didapatkan informasi bahwa “jika suatu saat terjadi konflik agraria-klaim perusahaan perkebunan terhadap tanah yang dikuasai oleh warga Jawa, maka ZA lebih mempunyai pengetahuan daripada calon lainnya yang bukan berasal dari keturunan penduduk asli”.
Pernyataan yang demikian memang tidak berlaku umum bagi seluruh penduduk pendatang Jawa yang bermukim di Mangsang, namun dari beberapa informasi yang dikumpulkan, didapatkan bahwa beberapa program yang diusung ZA dalam kampanye PILKADES lalu memang cukup strategis untuk menyerap beberapa kebutuhan penting para penduduk pendatang. Beberapa programnya diantaranya adalah: menggalakkan perkebunan untuk warga, mengusahakan kepastian hukum atas tanah yang dikelola oleh warga dari caplokan perusahaan dan pemerintah kabupaten, dan mendorong terjadinya pemekaran desa. Bagi warga penduduk pendatang, baik yang berasal dari Jawa ataupun wilayah lainnya, program jaminan kepastian hukum atas tanah mereka memang menjadi isu yang sangat penting. Mereka terkadang masih beranggapan bahwa saat ini mereka menduduki lahan hutan produksi yang suatu saat dapat dengan mudah tersingkirkan dari tanah yang mereka kelola. Dengan kampanye yang dilakukan ZA “pengusahaan hutan produksi menjadi tanah rakyat”, secara khusus menjadi kekuatan tersendiri yang mampu menempatkan dirinya kembali dalam percaturan politik di desa Mangsang. Selain itu beberapa informan juga menambahkan, ZA juga memiliki modal politik lainnya yang dapat diandalkan, yaitu status istrinya yang juga anggota legislatif di tingkat Kabupaten Musi Banyuasin.
Fenomena politik lokal tersebut merupakan suatu hubungan yang mirip oleh James Scott sebutkan sebagai hubungan patron-klien (Scott, 1972, 1983). Hubungan antara kedua peran yang dalam kasus khusus, dimana seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnya lebih rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan dan bantuan kepada patronnya. Dalam hal ini, situasi itu dapat tergambarkan dengan posisi ZA selaku patron, dianggap sebagai orang yang dapat memberikan penyediaan jaminan sosial dasar dan keamanan bagi pendatang Jawa yang ingin kepemilikan tanahnya tetap terlindungi. Maka sebagai timbal baliknya, para pendatang, selaku klien, tidak ragu-ragu untuk memilih ZA sebagai Kades. Namun hubungan patron-klien ini bisa saja berakhir, bila para klien menganggap hubungan tersebut berubah menjadi hubungan yang eksploitatif, yang mana si patron tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan dasar para klien.
Nasib Kaum Tak Bertanah dan Ragam Krisis di Desa Padat Modal
Bagi mereka yang tergolong sebagai kelas buruh tani, mereka harus bekerja keras agar dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Pada umumnya mereka akan bekerja sebagai buruh di korporasi perkebunan dengan menjual tenaga kerjanya selama 7 jam kerja perhari. Dengan durasi waktu kerja tersebut, mereka akan mendapatkan upah perharinya sebesar 81.500 rupiah.
Agar dapat hidup layak di Mangsang, Hajir dkk menjelaskan bahwa rata-rata kebutuhan perbulan tiap KK yang memiliki anak balita 1 orang, sedikitnya akan membutuhkan uang sebesar 2 juta rupiah. Untuk mendapatkan uang dengan jumlah yang disebutkan, seorang Kepala Keluarga harus bekerja sebagai buruh selama 25 hari. Tetapi persoalannya adalah ketersediaan pekerjaan di korporasi perkebunan tidaklah dengan gampang untuk di dapatkan. Karena korporasi perkebunan memberlakukan sistem kerja gilir kepada setiap buruh yang diikat dengan “perjanjian kontrak”. Perjanjian kontrak kerja ini hanya memberikan lowongan pekerjaan 10 hari kerja kepada tiap-tiap buruh yang digolongkan bekerja dengan sistem yang demikian.
Dengan perjanjian kontrak kerja tersebut, setiap buruh hanya mendapatkan upah kurang dari 900 ribu rupiah tiap bulan. Oleh karenanya, untuk mencukupi kebutuhan yang dibutuhkan tiap bulannya, ia harus mencari lowongan kerja sebagi buruh serabutan di ladang-ladang milik warga lain yang sedang membutuhkan jasa tenaga kerja.
Hal ini tentunya akan berbeda dengan pendapatan ekonomi yang digolongkan sebagai kelas pemilik tanah. Bagi kelas pemilik tanah yang mengelola lahannya sebagai areal perkebunan kelapa sawit, maka dari tiap 1 hektarnya akan mendapatkan keuntungan per bulan kurang lebih 1,5 juta rupiah. Dan bisa dibayangkan jika ia memiliki luas lahan lebih dari itu.
Persoalan ketimpangan kepemilikan lahan penduduk Mangsang sebenarnya cukup mengkhawatirkan karena angka kelas buruh tani mencapai 45 persen dari total jumlah keseluruhan penduduk yang ada. Di tengah persoalan ini, sebagian warga Mangsang mengusulkan untuk melakukan alih fungsi hutan produksi di desa Mangsang menjadi areal-areal pertanian baru bagi kaum miskin (kelas tak bertanah).
Selain persoalan tingginya ketimpangan kepemilikan lahan, juga terdapat persoalan lain yang tak kalah penting di desa Mangsang. Persoalan tersebut adalah krisis bahan pangan (padi) yang pada selanjutnya menimbulkan krisis konsumsi. Hal ini selain disebabkan oleh tingginya ketimpangan kepemilikan lahan, juga disebabkan oleh tidak berbanding lurusnya luas areal lahan tanaman komoditas dengan areal pertanian pangan. Dari total keseluruhan areal lahan yang dikuasai dan dikelola oleh warga, jumlah luas areal lahan yang digunakan sebagai areal tanaman pangan pokok (padi) jumlahnya dapat digolongkan sangat terbatas. Bahkan angkanya tidak lebih dari 10 persen.
Banyak KK yang memiliki areal perladangan dan perkebunan dalam jumlah cukup luas, namun dalam memenuhi kebutuhan beras sehari-harinya mereka membeli dari warung-warung atau pasar terdekat. Situasi ini disebabkan oleh “demam” tanaman komoditas yang menurut mereka lebih menjanjikan keuntungan ekonomi daripada menanam tanaman pangan pokok. Dari seluruh dusun yang terdapat di Mangsang, hanya terdapat di dusun 2 yang penduduknya menanam tanaman padi. Itupun dalam jumlah yang sangat terbatas.
Saat ditanyakan bagaimana menghadapi situasi yang demikian, Andi dkk dan para warga pendatang menyatakan bahwa jalan satu-satunya adalah mengubah areal rawa-rawa yang terdapat di Mangsang menjadi areal pertanian padi. Namun saat ditanyakan kepada warga lain, khususnya penduduk asli Mangsang, cara yang ditawarkan oleh Andi dkk dianggap tidak tepat, karena bagi mereka kawasan rawa memiliki fungsi penting bagi Mangsang secara turun temurun, yaitu sebagai kawasan pencegah banjir, tempat berkembang biaknya ikan, dan tempat perlindungan mata air.
Ungkapan di atas mencerminkan bagaimana sikap para warga pendatang melihat ruang yang terdapat di sekitarnya, yang sebenarnya memiliki fungsi ekologis, seperti rawa yang berfungsi sebagai tempat penyedia/pelindung mata air yang tersisa serta tempat di mana sumber-sumber ikan bersarang dapat diubah menjadi areal komoditas baru untuk sekedar mengamankan areal komoditas yang dimilikinya (kebun sawit). Situasi ini memang sangat kompleks dan sekaligus memberikan penjelasan bagaimana perbedaan cara pandang warga pendatang dan penduduk asli dalam melihat ruang dan bentang ekologi di Mangsang. Walaupun jika dibayangkan ada muncul inisiatif untuk tidak mengambil lahan lain (rawa) untuk diproduksi menjadi areal baru sebagai tempat pertanian pangan, namun dengan cara mengubah areal lama seperti perkebunan sawit milik mereka menjadi lokasi pertanian padi, tetap saja cara yang demikian tidak akan mendatangkan keberhasilan. Hal itu tentunya didasarkan pada beberapa alasan logis yang menerangkan bahwa tidaklah mungkin areal-areal yang sudah dikonversikan menjadi areal tanaman padat modal (perkebunan sawit) yang sangat merusak kesuburan alami tanah karena tingginya penggunaan pupuk kimia dan rusaknya mata air yang tersedia menjadi areal pertanian pangan (padi).
Inilah potret dimana masyarakat yang telah terintegrasi dalam sistem ekonomi uang, yang dalam kondisi umum biasanya tidak terlalu memikirkan urusan-urusan fungsi ekologis di tempat di mana ia hidup. Selain krisis pangan, hadirnya korporasi perkebunan dan pertambangan di Desa Mangsang juga memicu terjadinya krisis ekologis lain yang cukup parah. Beberapa jumlah titik mata air yang tersebar, baik di kawasan rawa ataupun sekitar sungai menghilang secara drastis dalam kurun waktu tidak kurang dari 2 dekade belakangan ini.
Perkebunan kelapa sawit dan pertambangan telah menguras habis persediaan dan merusak kawasan penyedia air di Mangsang. Situasi ini terus memaksa mereka hidup dalam kondisi “krisis air bersih” dan menjadi masyarakat konsumsi tingkat akut. Setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan air bersih, warga terpaksa membeli beberapa galon air untuk kebutuhan minum ataupun kebutuhan lainnya. Melihat fenomena ini, dapatkah krisis sosial ekologis yang terjadi di Mangsang ataupun daerah-daerah lainnya dapat dihentikan? Murray Bookchin, seorang ekolog radikal pernah mengatakan bahwa krisis sosial ekologis yang terjadi adalah hasil dari adanya bentuk organisasi kekuasaan yang hirarkis dan mentalitas otoriter yang mengakar dalam stuktur masyarakat. Bentuk kebudayaan yang demikian merupakan cerminan dari hasil kebudayaan kapitalisme yang melanggengkan stuktur hirarki dan kelas ekonomi. Hal inilah yang selanjutnya membawa pada situasi lahirnya dominasi manusia terhadap alam yang disebabkan oleh adanya dominasi manusia terhadap manusia yang lain.
Ditulis pada: Bulan Mei 2015
Daftar Pustaka:
Bookchin, Murray. 1992. The Ecology of Freedom. Chesire Books.
Collins, Elizabeth Fuller. 2008. Indonesia Dikhianati. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Farida dan Yunani. Tanpa Tahun. Undang-Undang Simbur Cahaya sebagai Sumber Hukum di Kesultanan Palembang. Universitas Sriwijaya.
Scott, James C. 1983. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3S.
——————. 1972. Patron Client, Politics and Political Change in South East Asia, dalam Friends Followers and Factions: A Reader in Political Clientalism, Steffen W. Schmidt, James S Scott dkk (eds). Berkeley: University of California Press.
Yanuardi, Dian dan Noer Fauzi Rahman (ed). 2014. Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial Ekologis Indonesia. Yogyakarta: Tanah Air Beta.
Catatan tambahan:
1. Dalam sistem pemerintahan Marga, kepala Marga disebut sebagai Pasirah.
2. Sebelum berkuasanya kolonial Belanda di Sumatera Selatan, sistem penguasaan tanah di bumi Sriwijaya, Sumatera Selatan, masih tunduk pada sistem marga yang berlandasakan pada aturan Undang-Undang Simbur Cahaya, yang dilahirkan oleh Kesultanan Palembang pada abad pertengahan abad 17 (1629-1636). Selain mengatur tentang penguasaan tanah, Undang-Undang ini juga mengatur tentang aturan marga, dusun, kampung, bujang gadis kawin, perladangan, hukuman dan denda. Namun UU ini dalam perjalanannya terus mengalami perubahan semenjak kolonial Belanda berkuasa setelah menghapuskan Kesultanan Palembang (tahun 1825). Bahkan dihapuskan sejak terbitnya UU No. 5 tahun 1979 lewat SK Gubernur No. 142/SKPT/III/1983 (lihat: Farida dan Yunani).
Yogyakarta-Pasca diresmikannya Parangtritis Geomaritime Science Park oleh Sri Sultan HB X pada 12 September 2015 lalu, warga pesisir Parangkusumo, Dukuh X, Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP) kembali gelisah. Mereka merasa, dengan penetapan tersebut justru memberikan legitimasi baru untuk menggusur mereka.
Sebelumnya, kawasan ini dikenal dengan nama Laboratoium Geospasial Parangtritis. Didirikan pada tahun 2006 oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), bekerjasama dengan Fakultas Geografi UGM, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Pemerintah Kabupaten Bantul, yang pada peresmiannya dihadiri oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M. Nasir, Rektor UGM, Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Priyadi Jardono, serta pejabat perwakilan Pemerintah Kabupaten Bantul.
Dalam pelaksanaannya, Parangtritis Geomaritime Science Park ini akan dibagi menjadi tiga zona. Zona pertama adalah kawasan inti, seluas 141 hektar, zona kedua adalah kawasan terbatas dengan luas 95 hektar, dan zona ketiga adalah kawasan penyangga seluas 111 hektar. Dalam acara peresmian tersebut, Sultan menegaskan bahwa penetapan batas zona inti akan diikuti oleh pembersihan pemukiman dan pepohonan serta aktivitas lain yang dianggap dapat mengganggu pelestarian zona inti gumuk pasir.
Terkait dengan pernyataan Sultan tersebut, Kawit, pengurus organisasi ARMP, pada Jumat (25/3) menyatakan, “jika akan terjadi penggusuran karena adanya kawasan Geomaritime tersebut, kami tidak akan mundur selangkah pun”. Ia menyebutkan bahwa sejak peresmian kawasan tersebut, memang muncul isu bahwa akan ada 34 rumah yang akan digusur, khususnya yang berada di zona inti. Menurutnya, 34 rumah yang dimaksud adalah rumah-rumah anggota ARMP.
Kini, di sepanjang jalan menuju pemukiman warga ARMP terpasang beberapa patok berwarna kuning sebagai penanda kawasan Parangtritis Geomaritime Science Park. Patok-patok yang terpasang sejak September 2015 ini jelas memberi dampak teror psikologis bagi warga, karena bagi mereka patok tersebut merupakan penanda penggusuran akan datang dalam waktu dekat.
Patok Zona Inti. Sumber: selbum
Jauh sebelum ada isu penggusuran terkait hadirnya Parangtritis Geomaritime Science Park, warga yang tergabung dalam ARMP sebenarnya sudah beberapa kali menerima ancaman penggusuran serupa dari Pemerintah Kabupaten Bantul. Menurut Watin, anggota pengurus ARMP, sebelumnya ada tiga isu yang dijadikan alat untuk menggusur mereka, yaitu tuduhan sebagai penduduk liar, kawasan prostitusi, dan menempati lahan Sultan Ground (SG). Tapi menurutnya, isu yang paling kuat dihembuskan untuk melapangkan jalan penggusuran tersebut adalah bahwa mereka menempati lahan SG. Terkait dengan hal ini ia mengatakan jika SG dan PAG sudah dihapuskan, merujuk pada UUPA Diktum IV, Keppres Nomor 33 tahun 1984, dan Perda DIY Nomor 3 Tahun 1984. “Jadi tidak ada dasar yang kuat untuk menggusur kami”, tegasnya. (Fandi)
Yogyakarta – Minggu, 3 April 2015 lalu, Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) genap berusia 10 tahun. Sebuah usia organisasi perjuangan yang dapat dikatakan tidak lagi muda jika dibandingkan dengan fenomena tumbuh layunya beberapa organisasi perjuangan petani lainnya.
Dalam merayakan ulang tahunnya yang ke-10, PPLP-KP sudah memulai perayaan dari sejak Sabtu (2/4) malam dengan beberapa kegiatan seperti doa bersama, pemutaran film, dan diskusi antar komunitas warga. Kegiatan ini digelar di desa Plered, salah satu desa yang menjadi basis perjuangan PPLP-KP. Menurut beberapa pengurus, pemutaran film perjuangan yang mereka lakukan bertujuan agar setiap anggota tetap memiliki ketajaman ingatan perjalanan perjuangan. Dalam kegiatan ini, beberapa organisasi perjuangan yang berasal dari Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jakarta juga turut hadir. Sebagian dari mereka sudah tiba di Plered sejak Sabtu malam.
Dalam puncak perayaannya, hari Minggu, seluruh anggota PPLP-KP dari berbagai kalangan, perempuan-laki-laki, tua-muda, bahkan anak-anak sejak pagi sudah tumpah ruah di jalan Daendels, pesisir Kulon Progo. Mereka bersuka cita, meneriakkan yel-yel perjuangan seperti, “Hidup PPLP, Bertani atau Mati” sambil berkonvoi di sepanjang jalan. Tidak kurang, dalam konvoi ini, 1000 orang turun ke jalan.
Selanjutnya, saat hari menjelang siang, pemotongan tumpeng pun dilakukan oleh Supriyadi, ketua PPLP-KP. Secara simbolis, potongan tumpeng diberikan kepada anak-anak anggota PPLP-KP, dan beberapa delegasi organisasi yang turut hadir. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkembangkan semangat dan kesadaran bagi generasi muda PPLP-KP, serta mempererat tali silaturahmi antar organisasi rakyat.
Acara juga diramaikan oleh orasi-orasi dukungan dari berbagai delegasi organisasi. Delegasi organisasi buruh KSN Bandung, misalnya. Dalam orasinya, selain mengucapkan selamat ulang tahun kepada PPLP-KP, ia juga menegaskan bahwa pekerjaan yang bisa menghidupi banyak orang adalah petani, karena petanilah yang memberi kita makan. Selanjutnya, delegasi dari petani Indramayu juga memberikan dukungan serupa. Selain menyanyikan sebuah lagu perjuangan yang ia tulis sendiri, ia juga mengatakan bahwa petani harus tetap mempertahankan tanahnya dari segala bentuk perampasan. “Hidup mati harus di tanah kita sendiri”, tegasnya.
Aji Kusumo, delegasi dari AKRI juga turut membakar semangat seluruh undangan yang hadir. Dalam orasinya, ia menegaskan bahwa yang terjadi di Kulon Progo, juga terjadi di daerah-daerah lain di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Fenomena munculnya konflik agraria yang mengatasnamakan pembangunan semakin marak di DIY belakangan ini, bahkan tidak malu-malu memakai nama Sultan Ground (SG) ucapnya. Aji Kusumo adalah seorang aktivis lingkungan yang cukup gigih dalam perjuangan melawan pembangunan yang tidak berpihak terhadap rakyat di DIY. Karena kegigihannya, ia sempat dikriminalisasi dan divonis 3 bulan 15 hari oleh Pengadilan Negeri (PN) Sleman pada Juni 2014 lalu.
Pasca orasi, acara perayaan ultah PPLP-KP dilanjutkan dengan hiburan organ tunggal. Acara semakin meriah dan ratusan pemuda pun larut dalam goyangan lagu dangdut yang disuguhkan oleh para penyanyi.
Menjelang sore, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi refleksi perjuangan antar lintas organisasi. Turut hadir pula dalam diskusi ini beberapa orang akademisi dan peneliti yang berasal Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, dan Sekolah Demokratik Ekonomi (SDE) Jakarta. Diskusi refleksi ini, menghantarkan seluruh peserta diskusi, baik petani, buruh ataupun lainnya untuk saling berbagi peran dengan cara yang cerdas untuk memperkuat gerakan rakyat. Gerakan yang dimaksud tentunya, gerakan yang memiliki prinsip perjuangan anti kapitalisme.
PPLP KP berdiri sejak tahun 2006. Anggotanya terdiri dari himpunan petani yang tinggal di 5 desa. Berdirinya PPLP-KP bermula dari penolakan petani di 5 desa yang menolak sebuah rencana berdirinya pertambangan pasir besi di kawasan tempat mereka bermukim dan bertani. Sejak tahun 2006, perjuangan mereka telah mencapai kemenangan-kemenangan yang berarti. Namun, di sisi lain, juga dihadapkan dengan beragam represi baik yang dilakukan oleh negara maupun oleh pihak-pihak yang merasa kepentingannya terhambat seperti, misalnya, kriminalisasi terhadap Tukijo, anggota PPLP-KP yang divonis penjara selama 3 tahun pada Agustus tahun 2010 dan penyerangan oleh preman-preman bayaran pada 20 Agustus 2008 silam. (Fandi)
Yogyakarta – Belakangan ini, pesisir Parangkusumo, Desa Parangtritis, Kretek, Bantul, kembali menjadi perbincangan di beberapa media arus utama Yogyakarta. Pasalnya, wilayah tersebut, adalah satu dari sekian banyak wilayah di Yogyakarta yang saat ini terus bergejolak karena adanya konflik agraria. Kini, sebagian warga, khususnya yang tinggal di pesisir Parangkusumo, kembali dihadapkan dengan beberapa isu bahwa kawasan yang mereka diami sebagai pemukiman dan ruang hidup lainnya akan terancam digusur oleh pemerintah Kabupaten Bantul.
Isu penggusuran ini sebenarnya bukan isu yang pertama. Bahkan, menurut beberapa warga, sudah beragam isu yang dilontarkan oleh pemerintah Kabupaten Bantul untuk menggusur mereka. Diantaranya adalah dianggap sebagai penduduk liar karena menempati lahan Sultan Ground (SG) dan sebagai kawasan yang menyuburkan praktik prostitusi. September 2015 lalu, pasca peresmian kawasan Parangtritis Geomaritime Science Park, isu penggusuran terhadap mereka semakin menguat.
Menghadapi terjangan isu ini, sebagian warga memang mulai resah, namun tidak demikian bagi Watin dkk. Watin adalah seorang lelaki berusia 65 tahun, yang lahir di Sonosamiran (desa Parangtritis) dan besar di Parangkusumo. Ia juga seorang budayawan sekaligus salah satu yang dituakan di daerah tersebut. Baginya, pesisir Parangkusumo adalah tempat hidup dan matinya.
Karena telah tumbuh dewasa hingga menginjak usia senja sudah dihabiskan di Parangkusumo, tidak mengherankan apabila saat ini ia terus menolak digusur. Tuduhan sebagai penduduk liar yang ditujukan kepadanya dan beberapa warga lainnya, menurutnya tidak tepat. Hal itu bertentangan dengan fakta di lapangan. Ia dan warga lainnya memiliki surat pembayaran pajak atas tanah yang mereka diami, dan juga memiliki kartu tanda penduduk desa Parangtritis.
Tuduhan selanjutnya dari pemerintah kabupaten Bantul bahwa areal yang mereka diami sebagai kawasan yang menyuburkan praktik prostitusi juga baginya tidak relevan. Watin dkk merasa bukan sebagai pelaku yang menyuburkan prostitusi di Parangkusumo. Ia merasa tuduhan itu terkesan mengada-ada, dan hanya modus pemerintah untuk menggusur warga demi kepentingan bisnis tertentu. Menurutnya “bisnis ini terkait dengan rencana pemerintah yang ingin mengubah kawasan pesisir Parangtritis dan Parangkusumo menjadi semacam Bali. Ini kepentingan modal besar”, ungkapnya. Maka, untuk memuluskan rencana tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pelarangan Pelacuran.
Sebagai orang yang dianggap tahu seluk beluk sejarah sosial pesisir Parangkusumo, ia menceritakan secara singkat bagaimana Parangkusumo di masa lalu hingga saat ini. Ia menceritakan, sebelum tahun 1965, Parangkusumo masih dihuni oleh sedikit orang. Bahkan tidak lebih dari 5 rumah. Saat itu untuk mencukupi kebutuhan pangan, penduduk Parangkusumo bertahan hidup dengan cara mengelola lahan-lahan perbukitan yang tak jauh dari tempat mereka tinggal sebagai lahan pertanian. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan yang lain, misalnya, gula, kopi dan sandang, mereka harus membelinya dengan hasil penjualan sebagian panennya.
Hasil panen tersebut mereka jual di salah satu pasar yang terletak di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Jaraknya kira-kira 20 kilometer dari Parangkusumo. Ia dan teman-temannya membutuhkan waktu sedikitnya 8 jam untuk bisa sampai di Panggang. Hal itu disebabkan oleh medan jalan yang berbukit dan harus ditempuh dengan berjalan kaki. “Angkutan umum yang menghubungkan Parangtritis-Panggang belum ada pada masa itu, dan kendaraan sepeda motor masih barang mewah”, ungkapnya.
Ia biasanya berangkat dari Parangkusumo pada sore hari dan tiba di Panggang pada tengah malam. Ia membawa hasil pertaniannya ke dalam karung-karung kemudian diikat pada sebuah kayu agar bisa dipanggul di pundaknya. Terkait dengan masa lalunya ini, ia memiliki suatu pengalaman menarik yang tak pernah ia lupakan saat sedang menuju Panggang “kami pernah bertemu macan Jawa, dan anehnya waktu itu macannya malah lari melihat kami, padahal kami sangat takut”.
Selanjutnya, saat jembatan Kretek dibangun pada awal tahun 1980-an, menurut Watin, mulailah kawasan Parangkusumo menjadi ramai. Berdirinya jembatan Kretek ini mendorong kerapatan penduduk semakin meningkat dan pertumbuhan pariwisata di Parangtritis dan Parangkusumo terus semakin subur.
Gumuk Pasir
Selain menjadi areal pemukiman, sebagian kawasan pesisir lahan pantai Parangkusumo juga dikelola sebagai lahan pertanian oleh sebagian penduduknya. Sedangkan kawasan lain yang tidak berpasir oleh penduduk dikelola sebagai areal persawahan.
Untuk melindungi lahan pertanian mereka dari gumuk-gumuk pasir yang terus berpindah-pindah, sebagian penduduk menanam beberapa jenis tanaman menjalar dan beberapa jenis tanaman lainnya. Hal ini menurut warga, juga berfungsi mencegah terjadinya abrasi,.
Dengan teknik pengelolaan yang demikian, kawasan pesisir Parangkumo mampu memberikan berkah kehidupan, khususnya ekonomi rumah tangga. Dan sebagai wujud terima kasih kepada alam yang telah memberikan berkah kehidupan, penduduk pesisir Parangkusumo kerap melakukan ritual rutin, seperti sembah bumi, pada waktu-waktu tertentu. Mereka meyakini bahwa dengan ritual tersebut, alam akan memberi keselamatan, perlindungan dan kelimpahan kemuliaan kepada mereka.
Namun, pasca penetapan kawasan Parangtritis Geomaritime Science Park di kawasan pesisir Parangkusumo, Watin dkk kembali terancam Karena mereka dianggap menempati kawasan zona inti Parangtritis Geomaritime Science Park. Seperti diketahui, kawasan Parangtritis Geomaritime Science Park terdiri dari 3 zona dengan luas kawasan mencapai 347 ha dengan pembagian: zona inti 141 hektar, zona terbatas 95 hektar, dan zona penyangga 111 hektar.
Sebelumnya didapatkan sejumlah informasi yang menyebutkan bahwa kawasan tersebut bisa berdiri karena lahan yang ditempati adalah lahan SG. Hal ini semakin menguatkan klaim bahwa lahan tersebut bukanlah lahan milik Watin dkk, melainkan milik Kasultanan. Hal tersebutlah yang memicu konflik agraria di Pesisir Parangkusumo semakin meruncing. Watin menambahkan, “sejak awal, tidak ada sosialisasi kepada penduduk bahwa akan ada berdiri kawasan PGSP, dan karena seolah-olah itu adalah lahan SG, maka sepertinya mereka langsung minta ijin ke Sultan, bukan ke warga. Ini namanya pembodohan dan pembohongan ke publik”..
Dengan berdirinya Parangtritis Geomaritime Science Park, teknik pengelolaan kawasan gumuk pasir yang dilakukan oleh warga selama ini dianggap salah. Karena Badan Informasi Geospasial, sebagai penanggung jawab Parangtritis Geomaritime Science Park mengatakan, bahwa di zona inti tidak diperbolehkan adanya tumbuhan dan pemukiman. Menurut Watin dengan tidak adanya tanaman di kawasan gumuk pasir malah justru akan membawa kerusakan dan bencana bagi warga sekitar. Hal itu akan memicu abrasi menjadi lebih cepat.
Fakta lain adalah, seperti yang telah terjadi saat ini. Yaitu, dengan tidak adanya tumbuhan di kawasan gumuk pasir, terjadi penumpukan pasir di kawasan pertanian warga. “Ada sekitar 42 hektar sawah kini telah tertimbun pasir, karena tidak ada tumbuhan penghalang”, ungkapnya. Menurutnya, kejanggalan terjadi saat warga sebagai pemilik sawah dilarang untuk membersihkan sawahnya dari pasir yang telah menimbun tanamannya. Bahkan mereka dituduh telah melakukan pelanggaran hukum, yaitu karena telah melakukan penambangan pasir! Imbasnya, hingga hari ini, areal persawahan warga tersebut diberi garis Polisi (Police Line), di mana warga tidak diperbolehkan memasuki areal tersebut.
Menurut Watin, kejadian ini, selain sebagai unjuk kekuasaan, juga mencerminkan cara berpikir dan pemaknaan yang berbeda antara ilmuwan dan warga dalam mengelola dan memperlakukan kawasan gumuk pasir di pesisir Parangkusumo, sehingga warga yang berada pada posisi lebih lemah diharuskan untuk menerima hal tersebut.(Fandi)
Yogyakarta-Selasa, 26 Mei 2015, warga pesisir Kulon Progo yang tergabung dalam organisasi Wahana Tri Tunggal (WTT) terlihat bersemangat. Pasalnya, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta, yang diketuai oleh Indah Tri Haryanti, mengabulkan gugatan mereka. WTT menggugat SK Gubernur No. 68/KEP/2015 tentang Ijin Penetapan Lokasi (IPL) Bandara, yang diterbitkan pada tanggal 31 Maret 2015. SK Gubernur tersebut dianggap akan mengancam dan menggusur warga dari lahan pertanian dan pemukiman mereka.
Seperti diduga sebelumnya, atas putusan PTUN tersebut, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta menempuh upaya hukum tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Karena perkara tersebut digolongkan sebagai perkara yang menyangkut “kepentingan umum” dengan merujuk pada Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, maka pengajuan banding bisa langsung diteruskan ke tingkat kasasi di MA.
Melalui putusan dengan nomor register 456 K/TUN/2015, permohonan kasasi Gubernur DIY dikabulkan oleh MA pada tanggal 23 September 2015. Atas putusan ini, WTT tidak menyerah. WTT terus berjuang dengan menempuh upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Rencana pendaftaran permohonan PK ini akan dilakukan pada Senin, 18 April 2016, di PTUN Yogyakarta. Terkait dengan rencana tersebut, Wiji, salah seorang pengurus WTT, pada Jumat (15/4) lalu mengatakan bahwa massa WTT akan turun ke kantor PTUN Yogyakarta bersama LBH Yogyakarta. Hal ini ditujukan agar PK yang mereka ajukan mendapatkan perhatian dari majelis hakim dan publik Yogyakarta secara luas.
Dengan merujuk pada UU Nomor 2 tahun 2012, pasal 7 ayat a, penggunaan istilah kepentingan umum ditegaskan harus diselenggarakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Namun dalam kasus ini, jika melihat kembali Perda DIY Nomor 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY Tahun 2009-2029, tidak terdapat sedikitpun keterangan tentang rencana pembangunan bandar udara yang baru. Hal ini menegaskan kerancuan rujukan yang digunakan oleh Gubernur DIY dalam penerbitan Surat Keputusan IPL bandara.
Terkait kejanggalan putusan hakim kasasi MA tersebut, Satrio, pegiat LBH Yogyakarta, mengatakan bahwa dalam pengajuan PK akan diajukan dua hal pokok materi, yaitu: kekhilafan hakim kasasi dan kesalahan penerapan hukum. Menurutnya, kesalahan penerapan hukum oleh hakim kasasi dapat ditemukan dalam penggunaan lampiran Perda DIY Nomor 6/2013 tentang RPJMD 2012-2017 sebagai dasar pertimbangan putusan. Hal ini membuat hakim kasasi justru mengesampingkan aturan fundamental tentang tata ruang. “Padahal sudah dijelaskan di dalam PP Nomor 15/2010, tentang penyelenggaraan tata ruang, bahwa rencana RPJMD tidak bisa mendahului dan ditempatkan lebih tinggi dari RTRW”, tegasnya.
Satrio juga menambahkan, kekhilafan hakim yang lain dapat terlihat jelas, yaitu dengan mengabaikan fakta jika IPL yang diterbitkan telah melanggar aturan tata ruang. Hal ini belum lagi ditambah dengan sejumlah fakta lain, yakni terbitnya IPL Bandara Kulon Progo tidak yang didahului dengan AMDAL serta tidak memperhatikan fungsi kawasan lindung geologi pesisir Kulon Progo sebagai kawasan rawan bencana tsunami.
Situs Sejarah yang Terancam Punah
Selain akan mengancam kawasan pertanian, sumber ekonomi, dan sejarah sosial lainnya, rencana pembangunan bandara Kulon Progo ini juga akan menghilangkan sejumlah situs cagar budaya.
Menurut Wiji, di dalam peta kawasan pembangunan bandara terdapat beberapa situs penting, yang selama ini memiliki fungsi sosial tertentu bagi masyarakat di sekitarnya. Misalnya, situs Gunung Lanang, atau sering disebut dengan nama Astana Jingga. Situs ini menurutnya, selain sebagai situs bersejarah peninggalan kebudayaan Hindu, juga dipercayai secara turun temurun oleh masyarakat sekitar sebagai tempat pemantauan Pangeran Diponegoro terhadap musuh dalam melawan tentara Belanda. Situs ini, pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada malam bulan Suro, banyak dikunjungi oleh warga yang berasal dari berbagai daerah untuk “ngalap berkah”.
Stupa Glagah
Tidak jauh dari Gunung Lanang juga terdapat makam Mbah Drajat. Mbah Drajat adalah orang yang dipercayai oleh masyarakat pesisir sebagai orang suci. Menurut cerita yang berkembang, Mbah Drajat adalah salah satu rekan seperjuangan Diponegoro dalam melawan tentara Belanda. Ia dikuburkan bersama kudanya setelah meninggal dalam satu peristiwa perang. Setiap pekan, masyarakat yang tinggal di sekitarnya kerap membersihkan lokasi makam Mbah Drajat. Karena jika tidak, muncul mitos bahwa rumah-rumah warga akan didatangi oleh ular. “Tapi ular-ular itu tidak menggigit, hanya mengingatkan saja, dan pada waktu tertentu banyak masyarakat melakukan doa bersama di lokasi makam. Tujuannya adalah agar Mbah Drajat diberi tempat yang mulia oleh Sang Pencipta”, ungkap Wiji.
Selain dua situs tersebut, masih terdapat dua situs lain yang terancam punah, yakni Stupa Glagah dan Candi Wisuda Panitisan. Bagi Wiji, rencana pembangunan bandara ini justru banyak mendatangkan petaka bagi masyarakat. “Bandara ini kepentingannya siapa sih?!”, pungkasnya. (Fandi)
Sabtu (23/4) lalu, warga pinggiran Sungai Code, Desa Sinduhadi, Mlati, Sleman, menyelenggarakan acara pentas seni anak di lapangan yang terletak di sudut kampung. Menurut salah seorang warga, acara tersebut merupakan kegiatan rutin yang biasa diselenggarakan menjelang tutup akhir tahun anak sekolah. Untuk tahun ini, tema yang dipilih oleh panitia penyelenggara adalah tentang lingkungan.
Menjelang pukul 19.00 WIB, beberapa rombongan anak-anak dari beberapa RT sudah mulai berdatangan. Sebagian ada yang datang bersama teman, dan sebagian yang lain datang bersama orang tua masing-masing. Sekitar pukul 19.15 WIB acara sudah dimulai. Dengan penerangan lampu hias warna-warni, dan ditambah dengan lukisan karya anak-anak yang dipajang di bagian kanan panggung, kegiatan malam itu begitu tampak meriah serta diisi oleh banyak pertunjukan. Diantaranya adalah beberapa orang anak tampil secara bergantian membacakan puisi karangan mereka masing-masing. Begitu juga dengan para orang tua, juga turut membacakan puisi. Tak ketinggalan pula, beberapa mahasiswa dari kampus ISI turut “mentas”.
Acara ini diinisiasi oleh beberapa pengurus Paku Bangsa, sebuah organisasi yang berfokus pada pengembangan pendidikan alternatif dan lingkungan untuk masyarakat pinggiran sungai. Wignya, salah seorang pengurus Paku Bangsa, bercerita banyak pada selamatkanbumi. Ia menceritakan bahwa Paku Bangsa bukanlah organisasi semacam LSM yang memiliki funding dari luar negeri ataupun organisasi yang didirikan oleh warga luar kampung, melainkan dari warga kampung sendiri.
Ia menceritakan bahwa berdirinya Paku Bangsa tidak bisa dilepaskan dari sejarah ruang hidup orang-orang pinggiran sungai generasi tahun 1970-an yang hidup di kampungnya. Generasi yang dimaksud adalah generasi setingkat orang tuanya. Hal ini bermula saat kampung yang ditempatinya mulai ramai dan padat. Menurutnya, kampung yang ia tempati sekarang, pada masa tahun 1970-an tidak sebegitu ramai sekarang. “Tidak banyak yang tertarik untuk tinggal di pinggir sungai pada masa itu”, ucapnya.
Namun, memasuki awal tahun 1980-an, suasana menjadi berbeda. Banyak orang dari desa dan pinggiran kota mulai datang dan tinggal di kampungnya. Untuk tinggal di kampungnya, para warga pendatang hanya membayar semacam “uang paculan” kepada orang yang sebelumnya telah merawat dan membersihkan lahan. Menurut Wignya, tidak ada tradisi jual-beli lahan, hal itu dipengaruhi oleh warga yang tinggal di pinggiran sungai bukanlah kelas pemilik, melainkan kelas buruh. Faktor inilah yang mendorong transaksi jual-beli lahan tidak terjadi.
Baginya, migrasi penduduk yang terus semakin meningkat untuk tinggal di daerah pinggiran sungai merupakan fenomena yang tidak bisa dilepaskan dari persoalan kemiskinan dan agraria. Hal ini dipengaruhi setidaknya oleh 3 faktor penyebab, yakni: 1) terjadinya kasus perampasan tanah, baik di desa dan kota, 2) masih kuatnya tradisi bagi waris tanah di pedesaan, sehingga mendorong terjadinya penyempitan luas lahan produktif untuk dikelola sebagai sumber penghidupan, dan 3) pada umumnya daerah pinggiran sungai di Yogyakarta pada masa lalu, merupakan daerah yang dapat dikategorikan sebagai lahan subur. Hal tersebut dipengaruhi oleh lumpur-lumpur vulkanik yang terbawa dari lereng Merapi. Dengan demikian dapat disimpulkan, “persoalan kemiskinan dan fenomena menempati kawasan pinggiran sungai adalah bagian dari persoalan agraria”, tegasnya.
Merintis Perjuangan Hak atas Ruang Hidup
Setelah lebih dari 20 tahun menempati daerah pinggiran sungai, pada awal tahun 1980-an, beberapa orang warga, tepatnya generasi “orang tua” mulai sering mendiskusikan tentang tanah yang mereka tempati. Hal ini bermula dari pengetahuan yang mereka dapatkan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam pembelajarannya tentang UUPA, mereka mendapatkan informasi bahwa mereka yang telah tinggal lebih dari 20 tahun di suatu tempat/lahan, dapat memiliki hak atas tanah tersebut. Atas dasar itulah, lantas mereka mencoba untuk mendapatkan keterangan dan penjelasan lebih lanjut dari pemerintah desa setempat. Beberapa perwakilan warga pun diutus untuk menanyakan kepastian tersebut kepada perangkat desa.
Tepat di pertengahan tahun 1980-an, kegelisahan yang mereka alami sedikit terjawab dengan keluarnya beban pajak yang disebut sebagai Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Bagi warga, beban pajak tersebut menandai adanya kepastian atas hak milik tanah yang mereka tempati. Karena dengan dikenakannya beban pajak bagi mereka, hal itu menandai bahwa hak atas kepemilikan tanah akan segera datang.
Seiring berjalannya waktu, penduduk yang bermukim di daerah pinggiran sungai terus semakin meningkat. Hal ini mendorong Wignya dkk mendirikan organisasi perjuangan, dan selanjutnya berdirilah Paku Bangsa. “Berdirinya Paku Bangsa merupakan tugas untuk melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh para orang tua kami, yaitu memastikan ruang hidup kami tetap tidak terancam untuk tergusur”, ungkapnya. Dalam perjalanannya hingga kini, Paku Bangsa telah berjejaring dengan 9 komunitas kampung pinggir sungai.
Namun bagi Wignya dkk, perjalanan perjuangan Paku Bangsa memiliki dinamika yang menarik. Hal itu dapat terlihat dari transformasi perjuangan yang dibangun. Jika pada masa tahun 2004-2010, gaya perjuangan Paku Bangsa masih bergaya “titip” kepentingan kepada elit-elit politik, tidak demikian dengan masa selanjutnya. Di masa tahun 2010-sekarang, mereka sudah belajar untuk mandiri dan tidak tergantung pada elit politik. Transformasi ini bermula saat mereka merefleksikan bahwa gaya perjuangan “titip” tidak menghasilkan kesadaran politik bagi seluruh anggota Paku Bangsa, dan seringkali berujung pada kekecewaan, karena kepentingan yang mereka titipkan seringkali disalahgunakan. Bentuk perjuangan tersebut menurutnya juga melahirkan ketergantungan yang tinggi pada orang lain yang bukan pengurus organisasi.
Kini, di tengah maraknya perampasan ruang hidup dan tanah yang terjadi di Yogyakarta, Paku Bangsa tidak merasa berjalan sendirian. Bagi Wignya dkk, perjuangan hak atas ruang hidup sudah mulai semakin meluas di Yogyakarta, baik di perkotaan maupun pedesaan. Jadi, ia dkk tidak terlalu khawatir jika sewaktu-waktu datang ancaman penggusuran terhadap mereka. Tuduhan yang sering dialamatkan kepada warga pinggiran sungai adalah perusak lingkungan, segera ia tepis dengan kalimat “Tidak mungkin warga pinggiran sungai merusak lingkungan, karena itu akan menimbulkan dampak langsung kepada mereka. Jikapun fenomena meningkatnya masyarakat yang hidup di pinggir sungai dianggap sebagai masalah, yang terjadi sebenarnya adalah ini akibat dari kebijakan agraria yang salah”, tutupnya. (Fandi)
Yogyakarta – Belakangan ini, pesisir Parangkusumo, Desa Parangtritis, Kretek, Bantul, kembali menjadi perbincangan di beberapa media arus utama Yogyakarta. Pasalnya, wilayah tersebut, adalah satu dari sekian banyak wilayah di Yogyakarta yang saat ini terus bergejolak karena adanya konflik agraria. Kini, sebagian warga, khususnya yang tinggal di pesisir Parangkusumo, kembali dihadapkan dengan beberapa isu bahwa kawasan yang mereka diami sebagai pemukiman dan ruang hidup lainnya akan terancam digusur oleh pemerintah Kabupaten Bantul.
Isu penggusuran ini sebenarnya bukan isu yang pertama. Bahkan, menurut beberapa warga, sudah beragam isu yang dilontarkan oleh pemerintah Kabupaten Bantul untuk menggusur mereka. Diantaranya adalah dianggap sebagai penduduk liar karena menempati lahan Sultan Ground (SG) dan sebagai kawasan yang menyuburkan praktik prostitusi. September 2015 lalu, pasca peresmian kawasan Parangtritis Geomaritime Science Park, isu penggusuran terhadap mereka semakin menguat.
Menghadapi terjangan isu ini, sebagian warga memang mulai resah, namun tidak demikian bagi Watin dkk. Watin adalah seorang lelaki berusia 65 tahun, yang lahir di Sonosamiran (desa Parangtritis) dan besar di Parangkusumo. Ia juga seorang budayawan sekaligus salah satu yang dituakan di daerah tersebut. Baginya, pesisir Parangkusumo adalah tempat hidup dan matinya.
Karena telah tumbuh dewasa hingga menginjak usia senja sudah dihabiskan di Parangkusumo, tidak mengherankan apabila saat ini ia terus menolak digusur. Tuduhan sebagai penduduk liar yang ditujukan kepadanya dan beberapa warga lainnya, menurutnya tidak tepat. Hal itu bertentangan dengan fakta di lapangan. Ia dan warga lainnya memiliki surat pembayaran pajak atas tanah yang mereka diami, dan juga memiliki kartu tanda penduduk desa Parangtritis.
Tuduhan selanjutnya dari pemerintah kabupaten Bantul bahwa areal yang mereka diami sebagai kawasan yang menyuburkan praktik prostitusi juga baginya tidak relevan. Watin dkk merasa bukan sebagai pelaku yang menyuburkan prostitusi di Parangkusumo. Ia merasa tuduhan itu terkesan mengada-ada, dan hanya modus pemerintah untuk menggusur warga demi kepentingan bisnis tertentu. Menurutnya “bisnis ini terkait dengan rencana pemerintah yang ingin mengubah kawasan pesisir Parangtritis dan Parangkusumo menjadi semacam Bali. Ini kepentingan modal besar”, ungkapnya. Maka, untuk memuluskan rencana tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pelarangan Pelacuran.
Sebagai orang yang dianggap tahu seluk beluk sejarah sosial pesisir Parangkusumo, ia menceritakan secara singkat bagaimana Parangkusumo di masa lalu hingga saat ini. Ia menceritakan, sebelum tahun 1965, Parangkusumo masih dihuni oleh sedikit orang. Bahkan tidak lebih dari 5 rumah. Saat itu untuk mencukupi kebutuhan pangan, penduduk Parangkusumo bertahan hidup dengan cara mengelola lahan-lahan perbukitan yang tak jauh dari tempat mereka tinggal sebagai lahan pertanian. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan yang lain, misalnya, gula, kopi dan sandang, mereka harus membelinya dengan hasil penjualan sebagian panennya.
Hasil panen tersebut mereka jual di salah satu pasar yang terletak di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Jaraknya kira-kira 20 kilometer dari Parangkusumo. Ia dan teman-temannya membutuhkan waktu sedikitnya 8 jam untuk bisa sampai di Panggang. Hal itu disebabkan oleh medan jalan yang berbukit dan harus ditempuh dengan berjalan kaki. “Angkutan umum yang menghubungkan Parangtritis-Panggang belum ada pada masa itu, dan kendaraan sepeda motor masih barang mewah”, ungkapnya.
Ia biasanya berangkat dari Parangkusumo pada sore hari dan tiba di Panggang pada tengah malam. Ia membawa hasil pertaniannya ke dalam karung-karung kemudian diikat pada sebuah kayu agar bisa dipanggul di pundaknya. Terkait dengan masa lalunya ini, ia memiliki suatu pengalaman menarik yang tak pernah ia lupakan saat sedang menuju Panggang “kami pernah bertemu macan Jawa, dan anehnya waktu itu macannya malah lari melihat kami, padahal kami sangat takut”.
Selanjutnya, saat jembatan Kretek dibangun pada awal tahun 1980-an, menurut Watin, mulailah kawasan Parangkusumo menjadi ramai. Berdirinya jembatan Kretek ini mendorong kerapatan penduduk semakin meningkat dan pertumbuhan pariwisata di Parangtritis dan Parangkusumo terus semakin subur.
Gumuk Pasir
Selain menjadi areal pemukiman, sebagian kawasan pesisir lahan pantai Parangkusumo juga dikelola sebagai lahan pertanian oleh sebagian penduduknya. Sedangkan kawasan lain yang tidak berpasir oleh penduduk dikelola sebagai areal persawahan.
ARMP Melarung Sultan Ground dan Pakua Alaman Ground.
Untuk melindungi lahan pertanian mereka dari gumuk-gumuk pasir yang terus berpindah-pindah, sebagian penduduk menanam beberapa jenis tanaman menjalar dan beberapa jenis tanaman lainnya. Hal ini menurut warga, juga berfungsi mencegah terjadinya abrasi.
Dengan teknik pengelolaan yang demikian, kawasan pesisir Parangkumo mampu memberikan berkah kehidupan, khususnya ekonomi rumah tangga. Dan sebagai wujud terima kasih kepada alam yang telah memberikan berkah kehidupan, penduduk pesisir Parangkusumo kerap melakukan ritual rutin, seperti sembah bumi, pada waktu-waktu tertentu. Mereka meyakini bahwa dengan ritual tersebut, alam akan memberi keselamatan, perlindungan dan kelimpahan kemuliaan kepada mereka.
Namun, pasca penetapan kawasan Parangtritis Geomaritime Science Park di kawasan pesisir Parangkusumo, Watin dkk kembali terancam. Karena mereka dianggap menempati kawasan zona inti Parangtritis Geomaritime Science Park. Seperti diketahui, kawasan Parangtritis Geomaritime Science Park terdiri dari 3 zona dengan luas kawasan mencapai 347 ha dengan pembagian: zona inti 141 hektar, zona terbatas 95 hektar, dan zona penyangga 111 hektar.
Sebelumnya didapatkan sejumlah informasi yang menyebutkan bahwa kawasan tersebut bisa berdiri karena lahan yang ditempati adalah lahan SG. Hal ini semakin menguatkan klaim bahwa lahan tersebut bukanlah lahan milik Watin dkk, melainkan milik Kasultanan. Hal tersebutlah yang memicu konflik agraria di Pesisir Parangkusumo semakin meruncing. Watin menambahkan, “sejak awal, tidak ada sosialisasi kepada penduduk bahwa akan ada berdiri kawasan PGSP, dan karena seolah-olah itu adalah lahan SG, maka sepertinya mereka langsung minta ijin ke Sultan, bukan ke warga. Ini namanya pembodohan dan pembohongan ke publik”.
Dengan berdirinya Parangtritis Geomaritime Science Park, teknik pengelolaan kawasan gumuk pasir yang dilakukan oleh warga selama ini dianggap salah. Karena Badan Informasi Geospasial, sebagai penanggung jawab Parangtritis Geomaritime Science Park mengatakan, bahwa di zona inti tidak diperbolehkan adanya tumbuhan dan pemukiman. Menurut Watin dengan tidak adanya tanaman di kawasan gumuk pasir malah justru akan membawa kerusakan dan bencana bagi warga sekitar. Hal itu akan memicu abrasi menjadi lebih cepat.
Fakta lain adalah, seperti yang telah terjadi saat ini. Yaitu, dengan tidak adanya tumbuhan di kawasan gumuk pasir, terjadi penumpukan pasir di kawasan pertanian warga. “Ada sekitar 42 hektar sawah kini telah tertimbun pasir, karena tidak ada tumbuhan penghalang”, ungkapnya. Menurutnya, kejanggalan terjadi saat warga sebagai pemilik sawah dilarang untuk membersihkan sawahnya dari pasir yang telah menimbun tanamannya. Bahkan mereka dituduh telah melakukan pelanggaran hukum, yaitu karena telah melakukan penambangan pasir! Imbasnya, hingga hari ini, areal persawahan warga tersebut diberi garis Polisi (Police Line), di mana warga tidak diperbolehkan memasuki areal tersebut.
Menurut Watin, kejadian ini, selain sebagai unjuk kekuasaan, juga mencerminkan cara berpikir dan pemaknaan yang berbeda antara ilmuwan dan warga dalam mengelola dan memperlakukan kawasan gumuk pasir di pesisir Parangkusumo, sehingga warga yang berada pada posisi lebih lemah diharuskan untuk menerima hal tersebut.(Fandi)
Pada rentang waktu antara akhir tahun 2010 hingga awal 2011, diskursus tentang Keistimewaan Yogyakarta mengalami satu fase yang disebut dengan puncak pembangunan opini publik. Hampir semua media massa baik lokal maupun nasional menjadikan pemberitaan keistimewaan sebagai headline dalam beberapa pekan. Terlepas dari berbagai sudut pandang dan polemik dalam pemberitaannya, media massa telah merekam di memori publik tentang sebuah transformasi politik kesultanan Yogyakarta dengan segala hiruk pikuk keheroikannya. Sayangnya dominasi politik kesultanan dalam kontestasi kepentingan perebutan kuasa atas sumberdaya alam jarang sekali dilihat sebagai satu catatan mengapa Yogyakarta menuntut keistimewaan.
Meski argumentasi sejarah dan peran politik Kesultanan dalam kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (di)muncul(kan) sebagai penguat dari ‘tuntutan’ keistimewaan, namun argumentasi tersebut tidak memicu proyeksi kritis atas apa yang akan terjadi ketika Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) ditetapkan sebagai payung hukum Kesultanan dan pemerintahan DIY. Selain itu, akan bermasalah jika sejarah Kesultanan dijadikan argumentasi keistimewaan, karena ia tidak bisa dilepaskan dari cerita tentang kolonialisme Belanda. Perjanjian Giyanti 1755 yang sebetulnya adalah cerita tentang politik penaklukan pemerintah kolonial Hindia Belanda atas kerajaan Mataram dalam rangka menguasai sumberdaya agraria, justru dijadikan sandaran utama untuk memperoleh status “istimewa” tersebut. Akan berbeda jika penglihatan atas keistimewaan diletakkan di tengah dinamika perubahan kapitalisme global hari ini. Sebab, menguatnya wacana keistimewaan DIY nyaris beriringan dengan narasi besar tentang pembangunan ekonomi Indonesia melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dikumandangkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Meskipun rejim SBY telah berakhir, namun logika dasar yang dipakai oleh pemerintahan Jokowi melalui RPJMN tidak berubah sedikitpun.
Barangkali kita masih ingat di tengah perdebatan soal keistimewaan, George Junus Aditjondro pernah mengingatkan dalam satu tulisan yang dimuat harian Sinar Harapan tanggal 13 Januari 2011, yang secara gamblang menyebutkan bahwa “perdebatan soal keistimewaan Yogyakarta terlalu sempit jika hanya fokus pada penentuan siapa yang berhak menjadi gubernur dan wakilnya”. Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa UUK DIY membonceng kepentingan Sultan dan Pakualam untuk menghidupkan kembali tanah-tanah bekas swapraja di DIY dengan merujuk pada Rijksblad Kasultanan No. 16/1918 dan Rijksblad Kadipaten No. 18/1918. Kepentingan tersebut diperkuat dengan fakta-fakta soal jaringan bisnis keluarga Kasultanan dan Kadipaten yang telah menggunakan tanah-tanah Keraton “warisan” perjanjian Giyanti 1755. Tulisan George ini mengingatkan kita pada apa yang pernah dibahas oleh Richard Robinson dan Vedi R. Hadiz tentang oligarki kapitalis. Sejalan dengan itu dalam konteks keistimewaan, Sultan Hamengkubuwono (HB) X menggabungkan kepentingan bisnis dan kepentingan politik-birokratik melalui sistem oligarki permanen yang diatur melalui UUK DIY. Itulah sebabnya perdebatan mengenai keistimewaan yang dikemas melalui gagasan otonomi daerah di tingkat provinsi pada dasarnya bukan merupakan isu teknis pemerintahan akan tetapi lebih kepada reorganisasi kekuasaan kesultanan Yogyakarta dalam penguasaannya atas sumberdaya material yang konkrit, yaitu sumber daya agraria.
Lalu apa yang terjadi setelah UUK DIY ditetapkan sebagai payung hukum pemerintahan dan kesultanan DIY? Dan apa hubungannya dengan berbagai paket kebijakan ekonomi Indonesia yang sepenuhnya dirancang semata-mata untuk melayani investasi besar? Untuk menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu kita bahas apa saja yang menjadi poin penting dalam UUK DIY yang kemudian diturunkan secara teknis dalam bentuk Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) Yogyakarta.
UUK DIY mengatur lima kewenangan istimewa yaitu: pertama, tentang tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; kedua, mengatur kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; ketiga, kebudayaan; keempat, pertanahan; dan kelima, tata ruang. Lima kewenangan tersebut jika dibaca secara cermat dengan kacamata ekonomi politik, kesultanan Yogyakarta sedang melakukan proses reorganisasi kekuasaan swapraja dengan mengamankan posisinya secara turun-temurun sebagai gubernur sekaligus raja yang diatur dalam UUK DIY. Menariknya, selain sebagai raja sekaligus gubernur, nyatanya ia juga seorang pebisnis[1] yang dapat menggunakan kewenangannya atas nama keistimewaan sebagai modal sosial, budaya, politik, dan ekonomi untuk kepentingan akumulasi bisnisnya. Hal itu terlihat dari beberapa rencana megaproyek yang hendak dibangun seperti pertambangan pasir besi di Kulon Progo serta beberapa bisnis perhotelan dan pariwisata di Yogyakarta yang melibatkan keluarga kesultanan dan kadipaten. Untuk memastikan kepentingan tersebut berjalan dengan aman dan terkontrol, ada proses yang disebut Alexander Irwan sebagai “dalil kelembagaan”[2]. Dalam hal kelembagaan, terbitnya UUK DIY menandakan suatu proses kemapanan diskursus keistimewaan. Bahkan mengalami peningkatan yang signifikan ketika para pembela dan pengusung keistimewaan berhasil melembagakan kekuasaannya melalui berbagai regulasi. Lima kewenangan yang akan diatur melalui Perdais inilah salah satu cara bagaimana oligarki tersebut membuat dalil-dalil kelembagaanya dalam melakukan praktik penguasaan atas sumberdaya agraria di DIY dengan menghidupkan kembali wacana dan legalisasi tanah-tanah swapraja, Sultanaat Gronden (SG) dan Pakualamanaat Gronden (PAG).
Konflik agraria atas nama SG dan PAG pun meluas pasca diberlakukannya UUK DIY. Tak hanya di beberapa wilayah pedesaan, bahkan merangsek hingga ke wilayah perkotaan. Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA) memberikan catatan khusus atas fenomena tersebut, yakni: Pertama, bahwa perluasan perampasan ruang hidup warga di Yogyakarta ini terkait erat dengan skema megaproyek pembangunan skala luas yang saling terintegrasi. Megaproyek yang dimaksud adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam MP3EI, Yogyakarta ditempatkan sebagai wilayah pengembangan ekonomi yang bergerak dalam industri jasa Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE). Tak heran jika selanjutnya angka pertumbuhan hotel dan rencana pembangunan bandara baru beserta rencana infrastruktur pendukungnya menjadi isu utama belakangan ini di DIY. Kedua, reproduksi wacana SG dan PAG oleh HB X memiliki sejumlah kelemahan, di antaranya karena SG dan PAG sudah dinyatakan dihapus oleh HB IX lewat terbitnya Peraturan Pemerintah DIY Nomor 3 Tahun 1984 dan melalui Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984 yang memberlakukan sepenuhnya UUPA di Yogyakarta.
Klaim sepihak SG/PAG ini memicu gelombang perlawanan rakyat, baik atas nama petani ataupun warga perkotaan. Dari data yang dihimpun oleh FKMA, sedikitnya ada 11 kasus konflik agraria di Yogyakarta dalam kurun waktu 2006-2016. Pada kurun waktu tersebut, sedikitnya 6 orang warga telah dikriminalisasi karena menolak ruang hidupnya dirampas oleh kejahatan modal atas nama pembangunan dan keistimewaan. Dalam operasinya, lembaga pendidikan juga dilibatkan untuk memuluskan rencana pembangunan. Hal tersebut dapat terlihat seperti yang terjadi pada 8 tahun silam. Tepatnya pada hari Senin, 21 Juli 2008, saat rombongan petani dari pesisir Kulon Progo yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) menggeruduk Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka menuntut agar UGM membatalkan kerjasamanya dengan PT. Jogja Magasa Mining (PT JMM) yang hendak mendirikan proyek pertambangan pasir besi di wilayah pesisir Kulon Progo, lokasi di mana ribuan warga PPLP-KP bermukim dan bertani. Selain itu, PPLP-KP juga menyerukan perlawanannya terhadap Kasultanan dan Kadipaten Yogyakarta. Pasalnya, selain mengklaim bahwa tanah yang dikelola PPLP adalah milik Pakualaman (PAG), keluarga keraton dalam kasus tersebut juga dianggap oleh PPLP menjadi biang kerok lahirnya rencana penambangan. Seperti yang diketahui, PT. JMM -yang belakangan berubah namanya menjadi PT. JMI (PT. Jogja Magasa Iron)- adalah perusahaan yang didirikan oleh beberapa orang dari keluarga keraton.
Bahkan, hal ini belum ditambahkan dengan bagaimana tanah-tanah kas desa yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, di mana dikatakan bahwa tanah kas desa menjadi aset desa dinyatakan tidak berlaku di Yogyakarta dengan berlakunya UUK. Seperti yang telah diberitakan oleh Kedaulatan Rakyat (KR) pada 10 Desember 2014 dengan judul “Tanah Plungguh Tetap Disertifikasi Sultan Ground”. Dalam berita tersebut Sultan mengatakan, “Ada tanah plungguh di DIY tetapi itu kan tanah SG. Saya tidak mau kalau disertifikatkan atas nama desa karena itu bukan haknya”. Pernyataan HB X ini pun diamini oleh Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, Haryanta, yang menyatakan pihaknya akan menyisir tanah-tanah kas desa termasuk tanah plungguh untuk disertifikasi atas nama SG. Haryanta pun menganggap bahwa tanah plungguh memang awalnya merupakan bagian dari SG, karena Keraton Yogyakarta dianggap sebagai negara sendiri yang dulu menggaji perangkat desa dengan penghasilan tanah tersebut. Haryanta juga menambahkan bahwa “UU Desa harus disinkronkan dengan Undang-undang Keistimewaan yang tetap menjadi SG”. Hal ini menyiratkan secara kuat bagaimana konsolidasi dan penguasaan atas sumberdaya agraria di Yogyakarta dilakukan secara sistematis dan terstruktur.
Terkait fenomena di atas, seringkali kritik terhadap SG/PAG dikaitkan dengan wacana feodalisme. Namun, penggunaan istilah feodalisme dalam kasus perampasan tanah di DIY perlu dipertanyakan kembali. Menurut pandangan selamatkanbumi penggunaan istilah feodalisme tidaklah tepat. Salah satu argumentasinya adalah karena SG dan PAG sendiri adalah produk hukum pertanahan kolonial, yang didasarkan pada Rijksblaad No. 16 dan 18 tahun 1918; yang kemudian disebut sebagai tanah swapraja. Jadi, jika menyebutnya sebagai produk feodalisme, maka akan mereduksi sejarah kolonialisme di Yogyakarta dan (mengamini) seolah-olah SG dan PAG tersebut merupakan produk hukum pertanahan Kasultanan dan Kadipaten Pakulaman Yogyakarta yang merdeka. Padahal, berdirinya Kasultanan dan Pakualaman adalah produk kolonial pasca terbitnya perjanjian Giyanti tahun 1755. Sebagaimana di dalam pasal 1 Perjanjian Giyanti 1755 disebutkan bahwa wilayah Mataram Kasultanan Yogyakarta adalah tanah pinjaman dari VOC. Selain itu dalam diskursus teoretik, istilah feodalisme kurang tepat untuk menggambarkan situasi yang terjadi di Yogyakarta. Akan lebih tepat, jika menyebut SG dan PAG adalah buah praktik kapitalisme kolonial. Oleh karena itu, bangkitnya wacana SG dan PAG atas nama UUK DIY dan keterlibatan keluarga keraton dalam beberapa proyek pembangunan menjadi sumber utama dari konflik agraria di DIY. Dengan demikian akan lebih tepat jika fenomena bangkitnya kekuasaan swapraja di DIY dilihat sebagai satu proses reorganisasi kekuasaan oligarki kesultanan di DIY dalam penguasaan sumberdaya agraria.
Terbangunnya oligarki di tingkat lokal sebagaimana di DIY merupakan akibat dari praktik gagasan desentralisasi pasca kebangkrutan Orde Baru. Dalam sistem ini, kepentingan lokal yang terdiri dari tokoh-tokoh daerah, para birokrat-politik dan pengusaha yang telah matang di bawah patronase Orba muncul sebagai suatu kekuatan dominan dalam kontestasi penguasaan sumberdaya lokal. Dengan demikian, transisi demokrasi 1998 yang awalnya diharapkan dapat mendatangkan kebaikan ternyata tidak memberikan perbaikan apapun bagi petani dan kaum miskin perkotaan. Sebaliknya, kepentingan-kepentingan kelas dan kelompok dominan dapat diakomodasi dan dilindungi. Bahkan memberi ruang longgar bagi keberlangsungan akumulasi kapital. Barangkali, jatuhnya Suharto, sang “operator kapital” dengan gaya terpusat telah di-setting lama oleh bandit-bandit neo-liberal, agar ongkos produksi menjadi lebih murah. Karena mempertahankan model akumulasi kapital di bawah rejim Suharto, selain rawan oleh tekanan gelombang gerakan rakyat, juga terlalu mahal karena maraknya korupsi dan birokrasi yang njelimet. Ringkasnya, tidak efisien untuk perluasan geografi produksi dan akumulasi kapital.
Melihat fenomena di atas, mungkin akan terlintas bahwa bangkitnya wacana dan legitimasi SG/PAG, secara sekilas berbeda dengan semangat land reform yang dalam beberapa tahun terakhir ramai diperbincangkan dalam kancah studi dan gerakan agraria di tengah meluasnya konflik agraria di Indonesia. Namun, jika land reform yang diusung bertujuan untuk mendorong kompetisi pasar menjadi lebih sempurna serta membawa pada situasi semakin menguatnya kapitalisme dari bawah[3], maka fenomena di Yogyakarta sebenarnya tidak jauh berbeda dengan land reform. Sebab ia sama-sama menciptakan memperkuat bangunan kapitalisme.[4] Yang membedakan hanyalah pada model penguasaannya saja, jika land reform redistributif ala neo-populisme berangkat dari bawah, sedangkan penguasaan tanah di Yogyakarta dikuasai kaum oligarki yang didukung oleh regulasi. Hal inilah yang mungkin menjadi ciri khusus yang membedakan dinamika perkembangan kapitalisme di Yogyakarta dengan kasus-kasus lain di Indonesia. Ia tidak berdiri di atas rezim kepemilikan,tapi ia berdiri di atas kekuasaan oligarki kesultanan. Tidak menutup kemungkinan, kesuksesan Yogyakarta dalam penguasaan sumberdaya agraria ini akan direplikasi di tempat lain. Sebab, sejak isu otonomi daerah dikumandangkan, beberapa (bekas) kerajaan, kesultanan, dan daerah-daerah swapraja kian gencar melakukan konsolidasi dalam rangka mengambil peluang dalam perebutan kuasa ekonomi dan perpolitikan lokal.
Setidaknya ada 6 asosiasi kerajaan yang di dalamnya terdapat lebih dari 100 kerajaan. Asosiasi-asosiasi tersebut diantaranya adalah Badan Pengurus Silaturahmi Nasional Raja dan Sultan Nusantara (BP Silatnas), Forum Komunikasi dan Informasi Keraton se-Nusantara (FKIKN), Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN), Yayasan Raja dan Sultan Nusantara (Yarasutra) dan Asosiasi Kerajaan dan Kesultanan Indonesia (AKKI). Karenanya, setidaknya ada dua poin penting yang dapat dijadikan acuan mengenai mengapa asosiasi-asosiasi tersebut dibentuk, diantaranya adalah, pertama, mendesak pemerintah pusat agar keraton, kerajaan, kasultanan, puri, atau kedaton di seluruh Indonesia diberikan pengakuan dan pengakuan hukum berupa undang-undang. Kedua, mendesak agar di dalam UU Pemerintahan Daerah, UU Adat, UU Kebudayaan, dan UU Pertanahan harus jelas mencantumkan stakeholder yang terlibat, termasuk keraton, kerajaan, kesultanan, puri, atau kedaton sebagai kesatuan integral NKRI yang perlu dilindungi dan diatur hak dan kewajibannya[5].
Akhir kata, untuk memperdalam pengamatan atas fenomena oligarki yang terjadi di Yogyakarta belakangan ini, selamatkanbumi edisi ini akan mencoba melakukan penelusuran dengan memfokuskan pada beberapa isu, diantaranya adalah, reproduksi wacana SG dan PAG, mekanisme kontrol penguasaan atas sumberdaya agaria, peran dan keterlibatan akademisi maupun para pegiat studi dan gerakan agraria, aneka ragam bentuk wajah pembangunan dan investasi, serta tipologi perampasan tanah di DIY setelah UUK diterbitkan.
Oleh: Tim Editorial SelamatkanBumi
[1] Aditjondro, George Junus. “SG dan PAG Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta”. Sinar Harapan, 31 Januari 2011.
[2] Dalil kelembagaan merupakan operasi diskursus yang tidak hanya bekerja pada tingkat bahasa atau gagasan tapi ia juga beroperasi pada tingkat regulasi dan organisasi kelembagaan sosial dalam rangka mensosialisasikan sebuah diskursus. Penggunaan istilah ini dalam ilmu sosial dapat dipakai untuk memahami perebutan pengelolaan atas sumberdaya.
[3] Lihat Kritik Byers terhadap Grifin, Khan dan Ickowitz (GKI) dalam buku: Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21 (2008).
[4] Menurut Byres, GKI tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan bahwa land reform redistributif akan membawa pada situasi menguatnya kapitalisme dari bawah, yang selanjutnya akan menciptakan stuktur-struktur proses diferensiasi kelas terjadi dan petani kapitalis terlahir.
[5] Hasil Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi II DPR RI dengan Forum Komunikasi dan Informasi Keraton se-Nusantara, tanggal 27 Januari 2011.
Yogyakarta – Selasa, 23 Juni 2015, warga pesisir Kulon Progo yang tergabung dalam organisasi Wahana Tri Tunggal (WTT) terlihat bersemangat. Pasalnya, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta, yang diketuai oleh Indah Tri Haryanti, mengabulkan gugatan mereka. WTT menggugat SK Gubernur No. 68/KEP/2015 tentang Ijin Penetapan Lokasi (IPL) Bandara, yang diterbitkan pada tanggal 31 Maret 2015. SK Gubernur tersebut dianggap akan mengancam dan menggusur warga dari lahan pertanian dan pemukiman mereka.
Seperti diduga sebelumnya, atas putusan PTUN tersebut, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta menempuh upaya hukum tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Karena perkara tersebut digolongkan sebagai perkara yang menyangkut “kepentingan umum” dengan merujuk pada Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, maka pengajuan banding bisa langsung diteruskan ke tingkat kasasi di MA.
Melalui putusan dengan nomor register 456 K/TUN/2015, permohonan kasasi Gubernur DIY dikabulkan oleh MA pada tanggal 23 September 2015. Atas putusan ini, WTT tidak menyerah. WTT terus berjuang dengan menempuh upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Rencana pendaftaran permohonan PK ini akan dilakukan pada Senin, 18 April 2016, di PTUN Yogyakarta. Terkait dengan rencana tersebut, Wiji, salah seorang pengurus WTT, pada Jumat (15/4) lalu mengatakan bahwa massa WTT akan turun ke kantor PTUN Yogyakarta bersama LBH Yogyakarta. Hal ini ditujukan agar PK yang mereka ajukan mendapatkan perhatian dari majelis hakim dan publik Yogyakarta secara luas.
Dengan merujuk pada UU Nomor 2 tahun 2012, pasal 7 ayat a, penggunaan istilah kepentingan umum ditegaskan harus diselenggarakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Namun dalam kasus ini, jika melihat kembali Perda DIY Nomor 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY Tahun 2009-2029, tidak terdapat sedikitpun keterangan tentang rencana pembangunan bandar udara yang baru. Hal ini menegaskan kerancuan rujukan yang digunakan oleh Gubernur DIY dalam penerbitan Surat Keputusan IPL bandara.
Terkait kejanggalan putusan hakim kasasi MA tersebut, Satrio, pegiat LBH Yogyakarta, mengatakan bahwa dalam pengajuan PK akan diajukan dua hal pokok materi, yaitu: kekhilafan hakim kasasi dan kesalahan penerapan hukum. Menurutnya, kesalahan penerapan hukum oleh hakim kasasi dapat ditemukan dalam penggunaan lampiran Perda DIY Nomor 6/2013 tentang RPJMD 2012-2017 sebagai dasar pertimbangan putusan. Hal ini membuat hakim kasasi justru mengesampingkan aturan fundamental tentang tata ruang. “Padahal sudah dijelaskan di dalam PP Nomor 15/2010, tentang penyelenggaraan tata ruang, bahwa rencana RPJMD tidak bisa mendahului dan ditempatkan lebih tinggi dari RTRW”, tegasnya.
Satrio juga menambahkan, kekhilafan hakim yang lain dapat terlihat jelas, yaitu dengan mengabaikan fakta jika IPL yang diterbitkan telah melanggar aturan tata ruang. Hal ini belum lagi ditambah dengan sejumlah fakta lain, yakni terbitnya IPL Bandara Kulon Progo tidak yang didahului dengan AMDAL serta tidak memperhatikan fungsi kawasan lindung geologi pesisir Kulon Progo sebagai kawasan rawan bencana tsunami.
Situs Sejarah yang Terancam Punah
Selain akan mengancam kawasan pertanian, sumber ekonomi, dan sejarah sosial lainnya, rencana pembangunan bandara Kulon Progo ini juga akan menghilangkan sejumlah situs cagar budaya.
Menurut Wiji, di dalam peta kawasan pembangunan bandara terdapat beberapa situs penting, yang selama ini memiliki fungsi sosial tertentu bagi masyarakat di sekitarnya. Misalnya, situs Gunung Lanang, atau sering disebut dengan nama Astana Jingga. Situs ini menurutnya, selain sebagai situs bersejarah peninggalan kebudayaan Hindu, juga dipercayai secara turun temurun oleh masyarakat sekitar sebagai tempat pemantauan Pangeran Diponegoro terhadap musuh dalam melawan tentara Belanda. Situs ini, pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada malam bulan Suro, banyak dikunjungi oleh warga yang berasal dari berbagai daerah untuk “ngalap berkah”.
Stupa Glagah
Tidak jauh dari Gunung Lanang juga terdapat makam Mbah Drajat. Mbah Drajat adalah orang yang dipercayai oleh masyarakat pesisir sebagai orang suci. Menurut cerita yang berkembang, Mbah Drajat adalah salah satu rekan seperjuangan Diponegoro dalam melawan tentara Belanda. Ia dikuburkan bersama kudanya setelah meninggal dalam satu peristiwa perang. Setiap pekan, masyarakat yang tinggal di sekitarnya kerap membersihkan lokasi makam Mbah Drajat. Karena jika tidak, muncul mitos bahwa rumah-rumah warga akan didatangi oleh ular. “Tapi ular-ular itu tidak menggigit, hanya mengingatkan saja, dan pada waktu tertentu banyak masyarakat melakukan doa bersama di lokasi makam. Tujuannya adalah agar Mbah Drajat diberi tempat yang mulia oleh Sang Pencipta”, ungkap Wiji.
Selain dua situs tersebut, masih terdapat dua situs lain yang terancam punah, yakni Stupa Glagah dan Candi Wisuda Panitisan. Bagi Wiji, rencana pembangunan bandara ini justru banyak mendatangkan petaka bagi masyarakat. “Bandara ini kepentingannya siapa sih?!”, pungkasnya. (Fandi)
Kisah nyata tentang hapusnya hak-hak atas tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta di zaman Keistimewaan, di bawah naungan rezim modal.
Jika Saudara diberi hak istimewa untuk menjadi penguasa tunggal atas tanah, penentu fungsi ruang, pengendali kelembagaan, pemerintahan lokal, percaturan politik, jalur dan sirkulasi investasi, keamanan sosial, dan kesadaran massa (masyarakat memaknai kehendak Saudara adalah perintah dan ucapan Saudara adalah hukum), bahkan penerima bisikan Tuhan (mirip nabi, tapi tanpa mukjizat) agar berangsur-angsur menjelma keyakinan (bukan hanya dipercaya), apa yang akan Saudara lakukan dengan hak istimewa itu?
Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan predikat keistimewaannya, mempunyai kisah tentang hak istimewa itu. Hak yang melekat pada puncak kekuasaan lokal, yang kaki-kakinya kukuh menggurita di mana-mana.
Diskriminasi Ras dan Etnis berkedok Affirmative Action
24 Agustus 2015. Saya diajak Paman Ong (60) ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta. Dia hendak mengurus balik nama Sertifikat Hak Milik Tanah (SHM) dari tanah yang dibelinya dari seorang suku Jawa. Sesampai di Kantor Pertanahan, Paman Ong diminta untuk menunggu di ruangan khusus. Saya berpikir kemungkinan berkas-berkasnya ada yang kurang.
“Berkasnya lengkap, Paman?”, saya memastikan.
“Lebih dari lengkap, akta kelahiran juga saya bawa sesuai permintaan BPN.”
Kami menuju ruang tunggu yang dimaksud. Lalu, seorang petugas menghampiri.
“Apa Bapak yang bernama Ong Ko Eng?”
“Ya. Bagaimana, Bu? Saya diminta menunggu di sini oleh petugas di loket. Apa berkas-berkas saya masih ada yang kurang?”
“Lengkap, Pak. Tapi, kami tidak dapat memproses balik nama SHM atas nama Bapak.”
“Kenapa, Bu?”
“Karena Bapak adalah WNI Non Pribumi atau WNI keturunan asing. Coba Bapak baca aturan ini, kami sekadar menaati peraturan.”
Alasan serupa ternyata pernah diberikan kepada Tan Susanto Tanuwijaya, dalam surat Kepala Kantor Pertanahan Bantul kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DIY, No. 1087/34.71-300/VIII/ 2015, 11 Agustus 2015, dengan pernyataan: “Bahwa Tan Susanto Tanuwijaya (subyek yang mengajukan permohonan Hak Milik pada 31 Juli 2015) merupakan WNI Keturunan.”
Petugas itu menyodorkan beberapa dokumen. Kami mencermatinya satu per satu.
Pertama, selembar salinan kebijakan catatan sipil zaman kolonial tentang pembagian kependudukan berdasar ras, yaitu: Europeanen/Eropa (pada akte kelahiran berkode 1849); Vreemde Oosterlingen/Timur Asing, termasuk Tionghoa, Arab, India, dan non Eropa lainnya (berkode 1917); dan Inlander/Pribumi (berkode 1920 untuk muslim; 1933 untuk Kristen; dan NON STBLD untuk Hindu atau Budha). Kami tidak diperbolehkan memotret atau menyalin dokumen ini.
Kedua, selembar surat Instruksi Kepala Daerah DIY No. K 898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi, tertanggal 5 Maret 1975 yang ditujukan kepada Bupati/Walikota Kepala Daerah Seluruh DIY, ditandatangani oleh Wakil Kepala Daerah DIY Paku Alam VIII. Surat ini dikenal dengan beberapa istilah, antara lain: Instruksi Kepala Daerah DIY 1975, Surat Edaran Wakil Gubernur DIY 1975, Instruksi Wakil Gubernur DIY 1975 (mengacu penandatangan), atau Surat Instruksi Gubernur DIY 1975. Intinya, Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 mengatur setiap WNI Non Pribumi yang membeli tanah hak milik dari rakyat (pribumi) harus melepaskan haknya kepada negara (menjadi tanah negara) dan memohon HGB kepada Kepala Daerah DIY (HGB terbit atas SK Gubernur), aturan ini tidak mencantumkan alasan, kecuali tafsir pemerintah bahwa pemberlakuan Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 merupakan affirmative action, yaitu menyelamatkan hak rakyat kecil dari pemodal besar.
Ketiga, selembar surat Gubernur DIY No. 430/3703, perihal Tanggapan Permohonan Hak Milik atas Tanah, kepada R. Wibisono (Jl. Jogokaryan No 1, Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta).
“Bu, maaf sebelumnya. Saya ini bukan WNI Keturunan Asing, juga bukan WNI Non Pribumi. Ini buktinya, di KTP saya tertera WNI, tanpa embel-embel apapun. Ini saya juga punya surat dari BPN RI, silakan dibaca.”
Paman Ong menyodorkan Surat Badan Pertanahan Nasional RI No. 4325/016-300/XI/2011 tentang Penyampaian Surat Pengaduan Masyarakat, ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DIY yang isinya pemberian hak milik tanah kepada WNI dapat dilakukan tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama, maupun asal-usul, sebagaimana diatur UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA); UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI; UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UUPA di DIY; Instruksi Presiden RI No. 26 Tahun 1998 dan Surat Edaran Kepala BPN RI No. 520-1609 (17 November 1999).
“Tapi, ini kebijakan, Bapak.”
“Kebijakan siapa? BPN?”
“Bukan, Bapak. Ini Kebijakan Kasultanan.”
“Apa ada suratnya, Bu?”
“Ini lho Pak, sudah saya berikan”, petugas itu menegaskan bahwa surat yang dimaksud adalah surat Gubernur DIY kepada R. Wibisono.
“Tapi ini surat Gubernur, Bu. Bukan dari Kasultanan, logonya saja Garuda Pancasila. Lagipula surat ini tidak ditujukan pada saya”.
“Pak, Gubernur itu ya Sultan, tidak ada bedanya. Apalagi sekarang Jogjakarta sudah istimewa dengan UU”.
“Intinya, proses balik nama saya bagaimana, Bu?”
“Kami tidak bisa memprosesnya”.
“Baik, Bu. Saya perlu keterangan langsung dari Kepala Kantor. Apa bisa kami dijadwalkan bertemu?”
Rabu, 26 Agustus 2015, Paman Ong mengajak saya menemaninya ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, kali ini kami akan dipertemukan dengan Kepala Kantor Pertanahan, Drs. Sumardiyana, SH. Singkatnya, pertemuan itu hanya mempertegas sikap Kantor Pertanahan Bantul sebelumnya, dan permintaan dari Paman Ong supaya keputusan dituangkan dalam surat resmi. Pada kesempatan itu, Kepala Kantor Pertanahan menjelaskan posisi Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 sebagai pseudowetgeving (legislasi semu) dan pelaksanaannya sebagai diskresi.
Tanggal 23 September 2015, Paman Ong menerima surat dari Kepala Kantor Pertanahan Bantul, Nomor 2074/8-34.02/IX/2015, yang isinya Kepala Kantor Pertanahan Bantul meminta petunjuk kepada Kantor Wilayah BPN Provinsi DIY (surat No. 1917/8-34.02/IX/2015, tertanggal 4 September 2015) dan telah memperoleh petunjuk dari yang bersangkutan (surat No. 1525/300-34/IX/2015, tertanggal 11 September 2015). Surat itu tidak menjawab apa-apa, hanya surat korespondensi.
Paman Ong tidak sendiri. Pada tahun 2001 H. Budi Setyagraha (72) pernah mengajukan gugatan PTUN atas surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul, terkait penolakan pemberian Hak Milik. Seperti halnya R. Wibisono dan Paman Ong, beliau juga etnis Tionghoa. Pada tingkat Pengadilan Negeri, H. Budi Setyagraha dimenangkan, dengan argumentasi bahwa Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 bertentangan dengan UUPA dan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984. Kantor Pertanahan mengajukan banding, Pengadilan Tinggi PTUN memenangkan Kantor Pertanahan dan mencabut putusan PN PTUN, dengan argumentasi surat Kepala Kantor Pertanahan adalah korespondensi belaka dan bukan merupakan obyek PTUN.
Budi Setyagraha kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Melalui Putusan MA No. 281 K/TUN/2001 gugatan kasasi itu tidak diterima (Niet Ontvankelijke verklaard/NO) dengan alasan tidak ada kesalahan hukum dalam putusan hakim PTUN ditingkat Pengadilan Tinggi. Merasa tidak terpenuhi rasa keadilan, H. Budi Setyagraha mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan MA tahun 2001. Hasilnya, melalui Putusan MA No. 56 PK/TUN/2003, MA menguatkan putusan sebelumnya dengan alasan bahwa Prasasti Jam (NGEJAMAN) di Kasultanan Yogyakarta adalah bukti bahwa suku Tionghoa meminta perlindungan kepada Sultan Hamengkubuwono IX. Prasasti NGEJAMAN ini dijadikan alasan pemerintah provinsi DIY sebagai filosofi dasar diterbitkannya Instruksi Kepala Daerah DIY 1975, dalam surat No. 593/00531/RO.I/2012 (8 Mei 2012) kepada Willie Sebastian (etnis Tionghoa) yang meminta keterangan sehubungan pemberlakuan Instruksi Kepala Daerah DIY 1975.
Willie Sebastian (65) adalah orang pertama yang berani menggugat praktik diskriminasi etnis dan ras dalam bidang pertanahan di DIY. Berbekal surat-surat yang dikirim dan diterimanya, antara lain kepada Presiden pada 23 Februari 2011 mengenai permohonan pencabutan Instruksi Kepala Daerah 1975 dan dibalas dengan Surat Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementrian Sekretariat Negara RI (Maret 2011, tanpa tanggal) No. B-2774/Setneg/D-3/03/2011, Willie Sebastian mengadukan kepada KOMNAS HAM pada Juni 2013. Pada 30 Agustus 2013 KOMNAS HAM berinisiatif melakukan pertemuan dengan Gubernur DIY (Sultan Hamengkubuwono X), mereka ditemui Sekretaris Daerah DIY. Dalam pertemuan itu, KOMNAS HAM menyampaikan bahwa penerapan Instruksi Wakil Gubernur DIY 1975 No. K 898/I/A/1975 agar tidak dilanjutkan karena bertentangan dengan HAM. KOMNAS HAM juga meminta Gubernur DIY menemui warga etnis Tionghoa dalam rangka menyelesaikan permasalahan tersebut melalui mekanisme mediasi yang difasilitasi KOMNAS HAM. Upaya mediasi ini berujung buntu, Gubernur tidak memberi tanda-tanda kesediaan untuk bertemu.
11 Agustus 2014. KOMNAS HAM menerbitkan surat No. 037/R/Mediasi/VIII/2014 tentang Rekomendasi Terkait Dengan Diskriminasi Hak Atas Tanah Warga Keturunan Tionghoa di Provinsi DIY, kepada Gubernur DIY. Intinya menyatakan bahwa: 1) Instruksi Wakil Gubernur DIY 1975 bertentangan dengan UUD 1945, UUPA, UU Kewarganegaraan, dan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis; 2) Perbedaan Diskriminasi dan Affirmative Action berikut contohnya; 3) Gubernur terancam pelanggaran HAM bila mengabaikan atau menolak rekomendasi KOMNAS HAM.
Bersumber keterangan Kepala Kantor Wilayah BPN DIY yang disampaikan kepada seorang etnis Tionghoa yang pernah berelasi bisnis dengan Paku Alam IX (Wakil Gubernur DIY saat itu), surat rekomendasi KOMNAS HAM (11 Agustus 2014) segera dibahas Gubernur DIY melibatkan Kepala Kantor Wilayah BPN DIY dan Sekretaris Daerah DIY, dan Gubernur berkata: “Sudah biarkan saja, mereka (Tionghoa) nanti lupa sendiri”.
Willie Sebastian kemudian menyurati Gubernur dan DPRD DIY untuk melaksanakan rekomendasi KOMNAS HAM agar tidak terjerumus dalam tindak pidana yang diatur UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis maupun tindak pelanggaran HAM menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Surat itu tidak berbalas. Lalu, pada 30 April 2015 Willie Sebastian mengadukan kembali sikap Gubernur DIY kepada KOMNAS HAM, aduannya berbalas dengan penerbitan surat No. 069/R/Mediasi/VIII/2015 (7 Agustus 2015) tentang Pelaksanaan Rekomendasi KOMNAS HAM Terkait Dengan Diskriminasi Hak Atas Tanah Warga Keturunan Tionghoa di Provinsi DIY. Isi surat itu ialah KOMNAS HAM menyatakan bahwa “… penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran HAM kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya. Pengabaian Saudara Gubernur DIY atas rekomendasi KOMNAS HAM No. 037/R/Mediasi/VIII/2014 (11 Agustus 2014) dapat diindikasikan sebagai bentuk pelanggaran HAM berupa diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination), sebagaimana diatur Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM”. Rekomendasi KOMNAS HAM ke-2 ini juga bernasib sama dengan rekomendasi KOMNAS HAM pertama)
Selama rentang waktu Agustus 2014 – Agustus 2015, Handoko (33), seorang pengacara, adalah orang pertama yang menggugat Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 dalam wilayah Uji Materiil (bukan PTUN). Pada Februari 2015 dia melayangkan gugatan terhadap Gubernur DIY kepada MA. Gugatannya diketahui NO sejak April 2015, namun salinan putusan MA No. 13 P/HUM/2015 baru diterima Handoko pada April 2016 setelah melayangkan surat permohonan. Isi putusan itu ialah: Permohonan keberatan Hak Uji Materiil pemohon (Handoko) tidak dapat diterima karena Instruksi Kepala Daerah DIY No. K 898/I/A/1975 bukan termasuk peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juncto Pasal 1 ayat (1) Peraturan MA No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, dan Pasal 31 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2004 tentang perubahan pertama UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA dan perubahan kedua dengan UU No. 3 Tahun 2009 dan Pasal 1 ayat (1) Peraturan MA No 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.
Putusan MA No. 13 P/HUM/2015 memuat argumentasi dari tim hukum Pemerintah Daerah Provinsi DIY, yang terdiri atas: 1) Dewo Isnu Broto, SH (Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah DIY); 2) Dr. Achiel Suyanto, SH (Advokat swasta); 3) Sukamto, SH. (Kepala Bagian Bantuan dan Layanan Hukum Biro Hukum Sekretariat Daerah DIY); 4) Adi Bayu Kristanto, SH (Kasubbag Sengketa Hukum Biro Hukum Sekretariat Daerah DIY); 5) Haris Suhartono, SH (Kasubbag Peraturan Daerah Biro Hukum Sekretariat Daerah DIY); dan 6) Suhasto Nugroho, SH. (Kasubbag Supremasi Hukum Biro Hukum Sekretariat Daerah DIY). Dalam dokumen Putusan MA No. 13P/HUM/2015, mereka berpendapat bahwa Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 sesuai hukum adat Kasultanan. Sultan HB II pernah mengucap sabda, “Kalian kaum Cina saya ijinkan menempati tanah-tanah yang berpotensi ekonomi tinggi/strategis untuk berdagang tapi tidak saya ijinkan untuk memiliki” (hal 16). Menurut mereka, UUPA didasarkan pada hukum adat dan prinsip hukum adat ialah hanya warga masyarakat yang dapat mempunyai hak yang sepenuhnya atas tanah, yaitu berupa hak milik, sedangkan pendatang hanya dapat diberikan hak pakai (hal 20). Selanjutnya, menurut UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, kewenangan tentang tanah melekat pada Kepala Daerah DIY, oleh karena itu hukum adat DIY berlaku sejak HB II hingga sekarang (hal 15). Sejalan dengan Ranuwidjaja (1995)[i], Antoro (2015)[ii] telah menguraikan perbedaan Swapraja dan Masyarakat (Hukum) Adat terkait isu agraria di DIY.
Melalui argumentasinya, tim hukum Pemerintah Daerah Provinsi DIY justru menuduh (atau membuka fakta) bahwa Kasultanan dan adatnya (paugeran) bersifat rasis, sebagaimana bunyi Rijksblad Kasultanan No. 16 Tahun 1918 pasal 6: “Adol utawa angliyerake wewenang andarbeni utawa nganggo bumi…marang wong kang dudu bangsa Jawa lan nyewake utawa nggadhuhake bumi gawe marang wong kang dudu bangsa Jawa…kalarangan” artinya, menjual atau mengalihkan hak milik atau hak pakai tanah pada selain bangsa Jawa (bangsa Indonesia lahir 1928 lewat Sumpah Pemuda) dan menyewakan tanah kepada bangsa bukan Jawa dilarang (Anggraeni, 2012)[iii]. Mereka mendorong wacana bahwa rasisme harus diterima sebagai kearifan lokal yang dilestarikan, mereka hendak mengawetkan rasisme dalam kesadaran.
Tidak mengherankan, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR), Ferry Mursyidan Baldan, menyatakan pembelaannya terhadap praktik diskriminasi ini. Selengkapnya, baca “Aturan Pertanahan Di DIY Diskriminatif, Menteri Ferry: Wajar” (TEMPO, 3 September 2015), “Minister Defends Yogyakarta’s Racist Policy Land Ownership” (THE JAKARTA POST, 4 September 2015) dan “Minister Slammed Over Support Racist Policy” (THE JAKARTA POST, 7 September 2015).
Saya tertegun membaca salinan putusan-putusan MA, dan surat-surat BPN, serta sikap Pemerintah baik Provinsi DIY maupun pusat terkait pemberlakuan Instruksi Kepala Daerah DIY 1975.
Instruksi Kepala Daerah DIY 1975 jelas bukan peraturan perundang-undangan, mengapa dijadikan dasar pelaksanaan pelarangan Hak Milik atas tanah bagi etnis tertentu? Mengapa kedudukannya dipertahankan secara sistematis dan terstruktur hingga kuasanya melampaui UU? Apakah ini terkait dengan relasi kekuasaan oligarki di seputar Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten), BPN, dan Kasultanan? Mengapa Menteri ATR membela kebijakan diskriminatif dan rasial ini? Apakah ini merupakan sisa-sisa kuasa kolonial yang belum tuntas?
Edi Cuan (37), warga DIY etnis Tionghoa, seorang buruh tidak tetap, penerima kartu Keluarga Menuju Sejahtera, berlangganan RASKIN, kemungkinan besar bernasib sama dengan Handoko, Willie Sebastian, H. Budi Setyagraha, dan Paman Ong, ketika ia mencoba meningkatkan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik atas rumah yang ditempatinya. Pendaftaran Hak Milik massal pernah dilakukan warga miskin di bantaran Sungai Code (Blunyah Gede), tetapi gagal karena Lurah mengganjalnya demi menutupi proses illegal tukar guling tanah desa, setidaknya peristiwa itu membuktikan affirmative action tidak bekerja. Willie Sebastian, bersama kelompok warga yang lain, mengusulkan pelaksanaan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA, yaitu pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah berdasarkan kelas sosial untuk menjawab persoalan diskriminasi ini.
Negasi Konstitusi
“Tidak ada tanah negara di DIY!”, ujar Suyitno, SH atau Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radyo Nolo pada Seminar Ulang Tahun Ke-3 UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK DIY) di Dinas Kebudayaan Provinsi DIY. Pernyataan serupa pernah diucapkan oleh Kepala Biro Tata Pemerintahan Sekretaris Daerah Provinsi DIY (Haryanta) pada 11 November 2014 dan Gubernur DIY (Sultan Hamengkubuwono X) pada 15 September 2015.
Tanah Negara diartikan oleh UUPA (merujuk pasal 33 UUD 1945) sebagai tanah yang dikuasai negara, bukan tanah milik negara. Negara sebagai institusi tidak memiliki tanah, hanya menguasai, sebatas wewenang untuk mengatur hubungan hukum. Di DIY keberadaan tanah negara tidak diakui, lalu bagaimana nasib hak atas tanah yang timbul dari tanah negara?
Desember 2013 – Januari 2014, bertempat di sekretariat KARSA, sekelompok akademisi dan aktivis memfasilitasi diskusi bersama warga yang terancam dan sudah kehilangan hak atas tanah di DIY akibat Keistimewaan DIY. Mereka menamai diri Forum Darurat Agraria, berdiskusi secara intensif baik dalam perspektif hukum, politik, sosial, dan HAM, lalu menghasilkan dokumen DARURAT AGRARIA. Sebagian isi dokumen itu dapat dibaca pada situs Koran Gerak, adapun versi cetaknya yang lebih lengkap dikelola jaringan Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). Versi cetak dokumen itu dapat diunduh di Himpunan Masalah Struktural DIY.
”Orang Dalam” yang enggan disebutkan identitasnya membocorkan dua surat penting pasca UUK DIY disahkan, yaitu Surat Gubernur DIY No. 593 /4811 (12 November 2012) dan Surat Gubernur DIY No. 593/0708 (15 Februari 2013). Ditujukan kepada Kepala Kanwil BPN DIY, surat itu tentang Pengendalian Permohonan Hak Atas Tanah Yang Dikuasai Pemerintah Daerah DIY, yang mengakibatkan hilangnya hak para pemegang HGB dan Hak Pakai yang terbit dari SK Gubernur, karena perpanjangan, pengalihan, dan peningkatan HGB dan Hak Pakai tersebut dihentikan guna inventarisasi tanah-tanah yang diduga sebagai Tanah Badan Hukum Warisan Budaya (BHWB) Kasultanan dan Tanah BHWB Kadipaten Pakualaman, seolah-olah kedua BHWB itu serta merta mewarisi kekayaan dari badan hukum swapraja (kerajaan) yang telah berakhir pada 5 September 1945.
Di antara kebungkaman para korban karena ketakutannya pada rezim Keistimewaan, sayup-sayup satu kejadian terungkap. Di Kota Yogyakarta, ada HGB yang diubah statusnya dari HGB di atas tanah negara menjadi HGB di atas tanah Kasultanan (Sultan Grond, istilah lainnya adalah Kagungan Dalem). Menurut keterangan pihak yang terkait, pengubahan status itu menjadi prasyarat agar HGB dapat diperpanjang pasca terbitnya kedua surat Gubernur DIY tersebut. Seorang korban mengaku membayar kepada Panitikismo Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) untuk perpanjangan HGB-nya, hal serupa hanya berhenti sebagai gunjingan para notaris di DIY.
Pengubahan status ternyata terjadi pula pada SHM. Pada 2007 dilaksanakan program PRONA di Desa Pundungsari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul. Menurut keterangan perangkat desa dan tetua desa, lokasi tersebut menyimpan cadangan minyak, pada zaman ORBA batal ditambang dan baru-baru ini dilakukan studi eksplorasi oleh Perguruan Tinggi di Yogyakarta. Penerbitan SHM bukan perkara mudah, karena obyek tanah yang disertifikatkan harus benar-benar bersih dari sengketa maupun tumpang tindih kepemilikan. Sebanyak 100 SHM telah diterbitkan, namun setahun kemudian sertifikat-sertifikat tersebut diubah menjadi Hak Pakai tanpa melalui proses hukum (dibatalkan sepihak dengan cara dicoret), diduga pelakunya adalah Kantor Pertanahan Kabupaten Gunungkidul. PRONA adalah program nasional BPN RI, agak aneh ketika Kantor Pertanahan Kabupaten berani mengkhianati program BPN RI. Kejadian di Pundungsari merupakan satu dari kejadian serupa di desa-desa lain yang terbungkam.
Pada 14 Agustus 2015, bersama perwakilan warga terancam, saya berkesempatan bertatap muka dengan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DIY, Arie Yuriwin, SH, MSi atau Nyi Raden Riya Kismanggalawati, ini gelar abdi dalem keprajan (pelayan tingkat tinggi) Kasultanan. Kedua bekas swapraja itu, Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman, biasa mendudukan pejabat publik sebagai abdi dalem dengan cara memberi gelar kebangsawanan. Termasuk abdi dalem keprajan ialah seluruh Bupati dan Walikota; Kepala BPN RI periode 2009-2014 (Hendarman Supandji alias KRT Panjiwidura); Kepala Kejaksaan Tinggi DIY (Ali Mutohar alias Kanjeng Mas Tumenggung/KMT Nitiwidyaksa); Kepala Kantor Wilayah Pajak DIY (Djangkung Sudjarwadi alias KMT Wasitapranadipura); Guru Besar Sejarah UGM (Prof. Dr. Djoko Suryo alias KRT. Suryohadibroto); dan advokat swasta (Dr. Achiel Suyanto, SH alias KRT. Nitinegoro). Terkait pengubahan status HGB dan SHM tersebut di atas, Nyi Raden Riya Kismamanggalawati menyatakan menerima “instruksi” dari Panitikismo (Badan Pertanahan Kasultanan) ketika hendak melayani permohonan hak atas tanah. Surat Panitikismo bernomor 138/W&K/2000 tentang Penertiban Tanah Keraton (22 September 2000) ditunjukkan. Rupanya, surat itu bekerja sebagai alat kontrol Kasultanan terhadap negara, menggenapi fungsi pemberian gelar bangsawan kepada pejabat-pejabat negara.
Peristiwa di Kota Yogyakarta dan Pundungsari melengkapi kisah perampasan hak atas tanah dengan skala lebih luas karena megaproyek. Dua contoh yang paling mengemuka terjadi di Kabupaten Kulon Progo, yaitu: 1) Rencana Pertambangan Pasir Besi dan Pembangunan Pabrik Baja; dan 2) Rencana Pembangunan Bandara Internasional.
Proyek Pertambangan Pasir Besi dan Pembangunan Pabrik Baja di pesisir Kulon Progo berlangsung sejak 2006, salah satu proyek dari MP3EI (Master Plan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), pemrakarsanya PT. Jogja Magasa Mining/JMM (kemudian berubah menjadi PT. Jogja Magasa Iron/JMI). PT. JMM didirikan 6 Oktober 2005 oleh keluarga swapraja, Direktur Utama RM. Hario Seno; Anggota Direksi Lutfi Heyder dan Imam Syafi’i; Komisaris Utama GKR Pembayun (kini GKR Mangkubumi); dan Komisaris (Alm) GBPH Joyokusumo (Sumber: Akta Notaris PT JMM). Megaproyek ini bermodal 600 juta USD, dengan bagi laba sebesar 3 % untuk Republik Indonesia dan sisanya untuk pemodal, meliputi 3 kecamatan seluas 22 km x 1,8 km, berdampak bagi 30 ribu penduduk yang 80% berprofesi sebagai petani agribisnis-hortikultura di lahan pasir pantai. Menurut Wakil Bupati Kulon Progo Periode 2006-2011[iv], dengan asumsi nilai jual besi kasar (pig iron) $ 350,-/ ton dan asumsi produksi 1 juta ton per tahun, maka pendapatan Pemerintah (berdasarkan PP No. 45 Tahun 2003 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP) dari pertambangan pasir besi sebesar 1.000.000 x 350 x Rp. 9000 x 3 %=Rp. 94.500.000.000 per tahun. Dalam video sosialisasi Tambang Pasir Besi 2007 oleh PT JMI, Alm. GBPH Joyokusumo menyatakan bahwa rencana tambang ini adalah amanat Sultan HB IX (wafat 1988) pada tahun 1993. Pada tahun 2009, sekitar 1000 SHM warga terdampak tambang itu dikirim ke POLDA DIY, untuk menjawab pernyataan GKR Pembayun yang mengatakan, “Itu bukan tanah warga!” (Kontan Weekly : No 10 XIII, Desember 2008, halaman 29).
Menurut klaim pemerintah dan bekas swapraja, lahan di lokasi proyek berstatus PAG berdasarkan Rijksblad 1918 yang berbunyi “semua tanah tanpa sertifikat eigendom (SHM menurut Agrarische Wet 1870) adalah milik kerajaan”, sedangkan menurut masyarakat terdampak, tanah itu berstatus Hak Milik dan tanah negara berdasarkan sertifikat BPN dan UU No. 5 Tahun 1960. Dalam periode 2008-2012, dinamika sosial dan politik proyek pertambangan pasir besi dan pembangunan pabrik baja tersebut diwarnai oleh sejumlah peristiwa, antara lain: pembakaran posko dan perusakan rumah penduduk oleh massa pro tambang (Kertas Posisi Paguyuban Lahan Pantai Kulon Progo, 2010); pemenjaraan petani[v] (Widodo, 2013, hal 27-32); perumusan dan pengesahan Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi DIY tanpa tahap paripurna[vi] (Antoro, 2012); dan perumusan serta pengesahan Rancangan UU Keistimewaan DIY yang menjamin kepemilikan tanah bagi Kasultanan/Pakualaman[vii] (Antoro, 2010). Proyek ini terkendala pengadaan tanah karena lokasi proyek belum disertifikatkan menjadi Hak Milik Kadipaten Pakualaman.
Hingga tulisan ini disusun, pertambangan pasir besi dan pembangunan pabrik baja di pesisir Kulon Progo masih berstatus rencana, padahal hambatan-hambatan hukum di lapangan sudah hampir berakhir. Namun, bukan berarti investasi berhenti. Investor tambang tampaknya menyadari bahwa ketidakpastian hukum atas tanah (belum terbitnya SHM Kadipaten Pakualaman atas PAG) dan lingkungan yang cukup sehat adalah lawan utama. Selama penguasaan fisik kembali (reclaim) dan okupasi terhadap tanah telantar (tanah yang dianggap PAG) untuk pertanian masih terjaga, maka tambang akan sulit masuk. Uniknya, Pakualaman melakukan strategi reclaiming tanah dengan cara melayangkan somasi kepada 3 petani terdampak tambang, strategi ini mulai ditinggalkan gerakan agraria. Ketiadaan infrastruktur menjadi kendala utama. Investor saat ini memilih menangguhkan investasi tambang untuk menunggu kesiapan infrastruktur diimbangi dengan peralihan moda produksi setempat. Keduanya merupakan ancaman bagi penduduk pesisir Kulon Progo yang menempati konsesi tambang, di tengah kesadaran hak-hak keagrariaan semakin langka.
Ceritanya agak berbeda dengan rencana pembangunan Bandara Internasional.
Didorong oleh bisnis pariwisata yang dipopulerkan sebagai Meeting, Incentives, Convention, Exhibition (MICE), proyek ambisius ini bagian dari MP3EI. Bermodal 500 juta dollar, isu yang dimainkan pemerintah adalah peningkatan PAD, kebanggaan daerah, dan status tanah PAG. Baru-baru ini rencana tersebut memasuki tahap Ijin Penetapan Lokasi (IPL) Gubernur yang berproses hukum hingga ke MA dan pembebasan lahan berdalih untuk kepentingan umum. Untuk menandingi penolakan warga, pemerintah melakukan berbagai upaya antara lain: membentuk kelompok akar rumput tandingan yang mendorong kompromi sebagai bentuk resolusi konflik dan kriminalisasi terhadap warga yang melakukan aksi protes (2015). Tahap terpenting dari proyek ini adalah pembebasan lahan atau pengadaan lahan yang akan dipermudah ketika sertifikasi tanah PAG usai dilakukan.
Dibandingkan dengan rencana pertambangan pasir besi dan pabrik baja, tekanan “kepentingan umum” menguat, sehingga proses mudah mengarah pada pasar tanah (jual beli, ganti rugi, kompensasi). Menurut Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005, suatu kegiatan dapat disebut kepentingan umum jika: a) ada (mengakomodasi) kepentingan seluruh lapisan masyarakat; b) dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah; c) tidak digunakan untuk mencari keuntungan; d) masuk dalam daftar kegiatan yang telah ditentukan; dan e) perencanaan dan pelaksanaanya sesuai Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
Rezim “kepentingan umum” diuntungkan dengan kepastian hukum atas tanah, karena keberadaan SHM justru mempermudah perampasan, istilah ini dihaluskan jadi pengalihan hak, pengadaan lahan, atau konsinyasi. UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum mengatur tentang konsinyasi. Konsinyasi ialah penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan di pengadilan negeri tempat di mana lokasi tanah untuk pembangunan tersebut berada, dan selanjutnya dilakukan pencabutan hak atas tanah (meskipun ganti rugi tidak diambil). Pasal 42 UU tersebut menyatakan bahwa penitipan ganti kerugian ke pengadilan negeri terjadi karena disebabkan oleh, a) pihak yang berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui keberadaannya, atau b) obyek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti kerugian: 1) sedang menjadi obyek perkara di pengadilan, 2) masih dipersengketakan kepemilikannya, 3) diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang, atau 4) menjadi jaminan bank. Apakah warga dan tanah yang hendak dijadikan Bandara Internasional di Kulon Progo memenuhi unsur-unsur tersebut sehingga konsinyasi layak ditempuh? Rupanya, konsinyasi berubah menjadi alat paksa ketimbang sebuah cara yang ditempuh karena kondisi-kondisi tertentu. Bahkan, bentuk ganti kerugian menurut UU No. 2 Tahun 2012 pun bermacam-macam, antara lain: uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, dan bentuk lain yang disetujui pihak-pihak yang bersangkutan. “Sudahlah, uang ganti kerugian di pengadilan diambil saja daripada (warga) tidak mendapat apa-apa”, ujar salah seorang komisioner KOMNAS HAM di Hotel HARPER Yogyakarta, 22 Maret 2016 lalu. Akar rumput di peisisir Kulon Progo berharap HAM tidak menjadi bagian dari agenda investasi, namun harapan tak sepadan dengan kenyataan.
Jika jeli mencermati, proses-proses menuju kepastian hukum untuk penguasaan tanah dan proyek Bandara Internasional masih agak jauh. Setidaknya ada dua kelemahan fatal proyek ini, yaitu 1) Tata Ruang dan 2) Kepastian hukum atas tanah PAG (mengurung diri dalam perjuangan mempertahankan SHM akan sia-sia karena akan ditabrak UU No. 2 Tahun 2012, terkecuali juga dilakukan Uji Materi terhadap UU tersebut di Mahmakah Konstitusi).
Peraturan Daerah (Perda) DIY No 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY 2009-2029 tidak menunjuk lokasi Temon sebagai Bandara Internasional, melainkan kawasan pertanian dan pariwisata. Sebelum aturan ini diubah dengan Perda Tata Ruang yang baru (kemungkinan besar pada Perda Istimewa Tata Ruang), maka rencana Bandara Internasional tidak memperoleh landasan hukum dalam peruntukan ruang. Ketika gubernur melakukan penunjukan lokasi untuk fungsi yang tak sesuai peraturan tata ruang, maka ia terindikasi melakukan pelanggaran pasal 73 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dengan ancaman pidana 5 tahun. Dalam kasus Bandara Internasional Kulon Progo, gubernur mempunyai posisi kunci bagi keberhasilan proyek.
Hingga tulisan ini disusun, tanah PAG adalah tanah yang belum bersertifikat. Artinya, kepastian hukum atas tanah sebagai landasan proyek belum terpenuhi. Ke depan, akan segera diselesaikan dengan inventarisasi, identifikasi, dan sertifikasi PAG, menunggu atau tidak menunggu disahkannya Rancangan Perda Istimewa bidang pertanahan.
Dalam konteks Keistimewaan DIY, warga terdampak Bandara Internasional khususnya menghadapi dua hal yang lumayan berat dan sudah berjalan: perubahan status lahan dan perubahan tata ruang melalui perdais pertanahan dan perdais tata ruang.
Saat ini mereka dihadapkan pada pilihan yang sama-sama tidak menguntungkan: kehilangan ruang hidup atau tidak memperoleh kompensasi. Mereka akan dipindahkan di lahan baru berstatus tanah desa. Sementara, status tanah desa menurut Peraturan Gubernur (Pergub) DIY No. 112 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa adalah hak milik Pakualaman atau Kasultanan (sebagai badan hukum swasta), balik nama tanah desa dari SHM pemerintah desa menjadi SHM Kasultanan atau Kadipaten Pakualaman ditarget usai pada 2015 lalu menggunakan dana APBN. SHM Kasultanan/Kadipaten atas tanah desa tersebut ada di kabupaten, salinannya ada di kelurahan dan tidak terbuka bagi publik. Pergub DIY ini bertentangan dengan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 76. Para korban proyek Bandara Internasional itu disiapkan beralih rupa dari pemilik beralih jadi penyewa, dengan ketentuan sewaktu-waktu Pakualaman membutuhkan harus menyerahkan tanah dan bangunan utuh tanpa meminta ganti rugi (Pasal 11 Surat Kekancingan atau Magersari atau Pinjam Pakai tanah Keraton).
“Saya pilih mager bumi (mendirikan bangunan permanen) ketimbang magersari (mengurus pinjam pakai)”, ujar Kawit (57), perempuan pedagang nasi soto di Parangkusumo.
Para tetangga Kawit, Watin (65), Sutinah (60), dan Sulastri (43) resah. Pertengahan September 2015, tiba-tiba Sultan HB X (entah berkedudukan sebagai Gubernur atau Raja) bersama rombongan dari UGM, Badan Informasi Geospasial, Pemerintah Provinsi DIY, dan Pemerintah Kabupaten Bantul melakukan pematokan atas tanah-tanah negara di Parangkusumo dengan patok Kagungan Dalem. Tanah itu langsung dianggap SG. Beberapa minggu kemudian pematokan meluas, hingga ke pekarangan warga, rencananya sebagai penanda batas zona inti gumuk pasir (sand dune) seluas 141 ha dari total 346 ha. Pematokan kedua ini dijaga aparat kepolisian dan TNI, dipandu Kepala Dusun X Grogol, Parangtritis, yang dibekali surat tugas dari atasan. Menurut pemerintah, gumuk pasir adalah fenomena alam langka yang harus dijaga dengan cara membersihkan pepohonan dan pemukiman agar bentuknya tetap membukit. Menurut pengamatan warga sejak 1940-an, gumuk pasir terjadi karena pergerakan pasir akibat angin, karena ada penghalang maka terbentuk bukit, jika tanpa penghalang terbentuk hamparan pasir. Seluas 40 ha sawah warga berstatus milik terkubur gumuk pasir, dan beralih kini statusnya menjadi SG.
Parangkusumo adalah kawasan yang lama diincar menjadi area pengembangan wisata. Ancaman gusuran menjadi nafas keseharian warga. Berbagai dalih, dari pelarangan prostitusi, pelarangan tambak udang, pelarangan pemukiman di area gumuk pasir, hingga akhirnya pelarangan menempati tanah SG tanpa surat kekancingan. Penggusuran tampil ramah dalam berbagai istilah: relokasi, penertiban, ataupun penataan. Program kabupaten dan provinsi jelas, Parangtritis-Parangkusumo hendak dijadikan Bali ke-2. “Kami sudah berkonsultasi dengan Sultan HB X, hotel berbintang di Parangtritis-Parangkusumo nantinya akan dibangun di tanah SG atau milik warga (SHM)”, ujar Drs. H. Suharsono, Bupati Bantul periode 2016-2021, seolah tak ada pilihan bagi warga kecuali menerima relokasi… Maaf, penggusuran.
Sona Husada (45), sebut saja demikian, seorang dokter hewan yang tinggal di jantung kota, di kantung bekas keprajuritan Kasultanan. Suatu hari ia didatangi oleh petugas dari BPN lengkap dengan surat tugas. Petugas itu meminta berkas identitas seperti fotokopi KTP dan Kartu Keluarga, dilengkapi SHM asli jika ada, jika tidak ada maka cukup salinan fotokopi. Alasannya, untuk pembaruan sertifikat karena kebijakan pertanahan berubah, kelak akan diterbitkan sertifikat baru dan sang dokter tidak perlu memebayar pajak. Karena suatu hal, sang dokter belum dapat memenuhi permintaan itu dan berjanji keesokan harinya hendak menyerahkan SHM itu. Menurut ceritanya, beberapa tetangganya sudah menyerahkan SHM karena dikoordinasi oleh Ketua RT setempat. Pernyataan “tidak perlu membayar pajak” segera dimaknai sebagai bebas kewajiban daripada bermakna sudah tidak memiliki tanah, sehingga hal itu tampak menguntungkan dan memotivasi orang untuk mengumpukan sertifikat. Rupanya, Kasultanan dan BPN belajar dari kasus di Pundungsari yang vulgar dan kasar. Kemungkinan besar, SHM atau salinannya itu digunakan untuk data pembuatan sertifikat HGB atau Hak Pakai baru yang menggantikan SHM, HGB atau Hak Pakai di atas tanah Kasultanan atau Pakualaman. Hal yang sama terjadi di Imogiri (400 sertifikat, dieksekusi oleh kepala dusun) dan Dusun Bolang, Pantai Gesing (26 sertifikat). Operasi pengubahan SHM jadi HGB atau Hak Pakai ini terjadi secara sporadis, senyap, dan tidak terliput media karena sensitif (menyinggung kepentingan Kasultanan/Pakualaman). Pasal 14 Rancangan Perdais Pertanahan menyebutkan salah satu tugas tim ajudikasi pertanahan yang dibentuk Kasultanan/Kadipaten Pakualaman, dipimpin Sultan/Paku Alam, dan beranggotakan masyarakat hingga lapis terbawah ialah memeriksa kebenaran alat bukti kepemilikan atau pemanfaatan tanah Kasultanan dan Kadipaten. Alat bukti kepemilikan yang dimaksud ialah SHM, sedangkan alat bukti pemanfaatan ialah sertifikat HGB atau Hak Pakai. Jika alat bukti tersebut dianggap tidak sah, yaitu tidak dilengkapi sertifikat Eigendom tahun 1918 (untuk SHM) atau kekancingan (untuk non SHM), maka status tanah dialihkan jadi SG atau PAG.
Tanah adalah jantung kekuasaan, mengusik pertanahan sama saja menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan lokal di DIY. Wajar, jika banyak yang memilih aman.
Instruksi Kepala daerah DIY 1975.
Instruksi Kepala daerah DIY 1975. Sumber: Primer
Surat Gubernur DIY kepada R Wibisono.
Surat Gubernur DIY kepada R Wibisono. Sumber: Primer
Surat Gubernur DIY terkait HGB.
Surat Gubernur DIY terkait HGB. Sumber: Primer
Surat BPN Kota Yogyakarta kepada BPN Provinsi DIY.
Surat BPN Kota Yogyakarta kepada BPN Provinsi DIY. Sumber: Primer
Surat BPN Bantul kepada BPN DIY.
Surat BPN Bantul kepada BPN DIY. Sumber: Primer
Surat Rekomendasi KOMNASHAM.
Surat Rekomendasi KOMNASHAM. Sumber: Primer
Surat Panitikismo kepada BPN DIY.
Surat Panitikismo kepada BPN DIY. Sumber: Primer
SHM menjadi Hak Pakai.
SHM menjadi Hak Pakai. Sumber: Primer
Kekancingan.
Kekancingan. Sumber: Primer
Monopoli, Korupsi, dan Subversi
Monopoli tanah oleh Kasultanan dan Kadipaten, baik tanah sebagai ruang hidup maupun aset ekonomi, adalah masa depan pertanahan DIY, ketika perampasan hak atas nama Keistimewaan tidak dihentikan.
Tak hanya tanah (yang dikuasai) negara, tanah hak milik (individu dan desa) sudah beralih menjadi milik badan hukum warisan budaya Kasultanan dan Kadipaten yang bersifat swasta, menggunakan dana APBN (pajak rakyat seluruh Indonesia!) yang disebut Dana Istimewa. Adakah yang berani berteriak: “ini adalah korupsi”? KPK, Gropyokan Korupsi, LBH, IRE (konon pejuang UU Desa), ICW, atau semacamnya masih absen, meski bukti formal sudah beredar. Saya membayangkan, pembunuhan aktivis a la Jogja bukan di-Tukijo-kan, di-Udin-kan, di-Munir-kan, melainkan di-KRT-kan.
Keberhasilan Kasultanan dan Kadipaten beserta Pemerintah Daerah yang tunduk pada keduanya dalam merumuskan argumentasi Keistimewaan dan praktik-praktik Keistimewaan merupakan bukti kegagalan NKRI. Pasal 18 UUD 1945 dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika digunakan dengan amat canggih oleh Kasultanan, Kadipaten, dan Pemerintah Daerah untuk berpraktik negara dalam negara. Pembiaran terhadap pihak-pihak yang menyatakan “tidak ada tanah negara di DIY” adalah bukti nyata kegagalan itu. Atau, nasionalisme memang kedok lain dari oligarki kuasa modal, politik, dan budaya? Perjuangan warga yang akan mengujinya.
Rezim Netherlands Indie adalah imajinasi masa depan kekuasaan DIY, ketika sistem kontrol politik dan ekonomi dikembalikan ke masa kolonial melalui doktrin Keistimewaan.
Laba adalah Raja
Siapa sesungguhnya raja di DIY?
Menjawab pertanyaan ini, sejarah pendirian Kasultanan dan Kadipaten perlu ditelaah kambali. Siapa sesungguhnya Sultan Hamengkubuwono atau Adipati Paku Alam? Siapa sesungguhnya Kasultanan dan Kadipaten dalam konteks kekuasaan pada waktu itu? Bagaimana keduanya berelasi dengan kuasa modal (asing dan dalam negeri) dan relevansinya dengan hari ini?
Rekam jejak Kasultanan dan Pakualaman bisa disimak pada artikel Pada Mulanya adalah DUSTA! Sedangkan relasi rezim feodalisme dengan kekuasaan modal dapat dicermati pada artikel Modal yang Lincah Beralih Rupa.
Menilik latar belakang berbagai kasus pertanahan di DIY, motivasi modal sangat kuat. Diskriminasi diterapkan untuk mengontrol penguasaan aset ekonomi. Penggusuran dan penghapusan hak dilakukan untuk memudahkan investasi. Saya menduga—mudah-mudahan dugaan saya salah, rezim Keistimewaan ini akan dijaga negara sepanjang tidak mengganggu modal besar dan mendukung efisiensi. Tidak peduli daftar bukti-bukti pelanggaran konstitusi yang dilakukan rezim Keistimewaan berderet memanjang, seiring panjangnya usia perjuangan.
Senja menjelang ketika Sarijan (47)—dibantu isteri dan anak bungsunya Sigit (5) yang hilir mudik membawakan bibit-bibit, menanami cabai di pekarangannya yang berpatok SG, “Kalau terlalu sering demo kami terancam tidak makan”, ujarnya. “Sementara gotong royong ekonomi sesama warga belum terjadi”.
[i] Ranuwidjaja, Usep. 1955. Swapraja Sekarang dan Di Hari Kemudian. Jakarta: Penerbit Djambatan
[ii] Antoro, Kus Sri. 2015. ‘Analisis Kritis Substansi dan Implementasi UU No 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan DIY Dalam Bidang Pertanahan’. Bhumi:Jurnal Agraria dan Pertanahan, Volume 1, No 1, Mei 2015, STPN Yogyakarta hlm 12-32
[iv] Mulyono, 2006. Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Pasir Besi di Kulon Progo. Diskusi Publik: ”Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo dan Masa Depan Aset Bangsa”, di UMY Sabtu, 28 Juni 2008 Yogyakarta
[v] Widodo. 2013. Menanam adalah Melawan!. Yogyakarta: Tanah Air Beta.
[vi] Antoro, Kus Sri. 2012. ‘Dimensi Ekologi Politik dalam Perubahan-perubahan Agraria: Studi Kasus Transformasi Fungsi Lahan di Pesisir Kulon Progo’. Jurnal Bhumi No. 7 Tahun 4 September 2012, STPN Yogyakarta hlm 1-15.
[vii] Antoro, Kus Sri. 2010. Konflik-konflik di Kawasan Pertambangan Pasir Besi: Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus DIY). IPB. Tesis (tidak dipublikasikan).
Sabtu (23/4) lalu, warga pinggiran Sungai Code, Desa Sinduhadi, Mlati, Sleman, menyelenggarakan acara pentas seni anak di lapangan yang terletak di sudut kampung. Menurut salah seorang warga, acara tersebut merupakan kegiatan rutin yang biasa diselenggarakan menjelang tutup akhir tahun anak sekolah. Untuk tahun ini, tema yang dipilih oleh panitia penyelenggara adalah tentang lingkungan.
Menjelang pukul 19.00 WIB, beberapa rombongan anak-anak dari beberapa RT sudah mulai berdatangan. Sebagian ada yang datang bersama teman, dan sebagian yang lain datang bersama orang tua masing-masing. Sekitar pukul 19.15 WIB acara sudah dimulai. Dengan penerangan lampu hias warna-warni, dan ditambah dengan lukisan karya anak-anak yang dipajang di bagian kanan panggung, kegiatan malam itu begitu tampak meriah serta diisi oleh banyak pertunjukan. Diantaranya adalah beberapa orang anak tampil secara bergantian membacakan puisi karangan mereka masing-masing. Begitu juga dengan para orang tua, juga turut membacakan puisi. Tak ketinggalan pula, beberapa mahasiswa dari kampus ISI turut “mentas”.
Acara ini diinisiasi oleh beberapa pengurus Paku Bangsa, sebuah organisasi yang berfokus pada pengembangan pendidikan alternatif dan lingkungan untuk masyarakat pinggiran sungai. Wignya, salah seorang pengurus Paku Bangsa, bercerita banyak pada selamatkanbumi. Ia menceritakan bahwa Paku Bangsa bukanlah organisasi semacam LSM yang memiliki funding dari luar negeri ataupun organisasi yang didirikan oleh warga luar kampung, melainkan dari warga kampung sendiri.
Ia menceritakan bahwa berdirinya Paku Bangsa tidak bisa dilepaskan dari sejarah ruang hidup orang-orang pinggiran sungai generasi tahun 1970-an yang hidup di kampungnya. Generasi yang dimaksud adalah generasi setingkat orang tuanya. Hal ini bermula saat kampung yang ditempatinya mulai ramai dan padat. Menurutnya, kampung yang ia tempati sekarang, pada masa tahun 1970-an tidak sebegitu ramai sekarang. “Tidak banyak yang tertarik untuk tinggal di pinggir sungai pada masa itu”, ucapnya.
Namun, memasuki awal tahun 1980-an, suasana menjadi berbeda. Banyak orang dari desa dan pinggiran kota mulai datang dan tinggal di kampungnya. Untuk tinggal di kampungnya, para warga pendatang hanya membayar semacam “uang paculan” kepada orang yang sebelumnya telah merawat dan membersihkan lahan. Menurut Wignya, tidak ada tradisi jual-beli lahan, hal itu dipengaruhi oleh warga yang tinggal di pinggiran sungai bukanlah kelas pemilik, melainkan kelas buruh. Faktor inilah yang mendorong transaksi jual-beli lahan tidak terjadi.
Baginya, migrasi penduduk yang terus semakin meningkat untuk tinggal di daerah pinggiran sungai merupakan fenomena yang tidak bisa dilepaskan dari persoalan kemiskinan dan agraria. Hal ini dipengaruhi setidaknya oleh 3 faktor penyebab, yakni: 1) terjadinya kasus perampasan tanah, baik di desa dan kota, 2) masih kuatnya tradisi bagi waris tanah di pedesaan, sehingga mendorong terjadinya penyempitan luas lahan produktif untuk dikelola sebagai sumber penghidupan, dan 3) pada umumnya daerah pinggiran sungai di Yogyakarta pada masa lalu, merupakan daerah yang dapat dikategorikan sebagai lahan subur. Hal tersebut dipengaruhi oleh lumpur-lumpur vulkanik yang terbawa dari lereng Merapi. Dengan demikian dapat disimpulkan, “persoalan kemiskinan dan fenomena menempati kawasan pinggiran sungai adalah bagian dari persoalan agraria”, tegasnya.
Merintis Perjuangan Hak atas Ruang Hidup
Setelah lebih dari 20 tahun menempati daerah pinggiran sungai, pada awal tahun 1980-an, beberapa orang warga, tepatnya generasi “orang tua” mulai sering mendiskusikan tentang tanah yang mereka tempati. Hal ini bermula dari pengetahuan yang mereka dapatkan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam pembelajarannya tentang UUPA, mereka mendapatkan informasi bahwa mereka yang telah tinggal lebih dari 20 tahun di suatu tempat/lahan, dapat memiliki hak atas tanah tersebut. Atas dasar itulah, lantas mereka mencoba untuk mendapatkan keterangan dan penjelasan lebih lanjut dari pemerintah desa setempat. Beberapa perwakilan warga pun diutus untuk menanyakan kepastian tersebut kepada perangkat desa.
Tepat di pertengahan tahun 1980-an, kegelisahan yang mereka alami sedikit terjawab dengan keluarnya beban pajak yang disebut sebagai Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Bagi warga, beban pajak tersebut menandai adanya kepastian atas hak milik tanah yang mereka tempati. Karena dengan dikenakannya beban pajak bagi mereka, hal itu menandai bahwa hak atas kepemilikan tanah akan segera datang.
Seiring berjalannya waktu, penduduk yang bermukim di daerah pinggiran sungai terus semakin meningkat. Hal ini mendorong Wignya dkk mendirikan organisasi perjuangan, dan selanjutnya berdirilah Paku Bangsa. “Berdirinya Paku Bangsa merupakan tugas untuk melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh para orang tua kami, yaitu memastikan ruang hidup kami tetap tidak terancam untuk tergusur”, ungkapnya. Dalam perjalanannya hingga kini, Paku Bangsa telah berjejaring dengan 9 komunitas kampung pinggir sungai.
Namun bagi Wignya dkk, perjalanan perjuangan Paku Bangsa memiliki dinamika yang menarik. Hal itu dapat terlihat dari transformasi perjuangan yang dibangun. Jika pada masa tahun 2004-2010, gaya perjuangan Paku Bangsa masih bergaya “titip” kepentingan kepada elit-elit politik, tidak demikian dengan masa selanjutnya. Di masa tahun 2010-sekarang, mereka sudah belajar untuk mandiri dan tidak tergantung pada elit politik. Transformasi ini bermula saat mereka merefleksikan bahwa gaya perjuangan “titip” tidak menghasilkan kesadaran politik bagi seluruh anggota Paku Bangsa, dan seringkali berujung pada kekecewaan, karena kepentingan yang mereka titipkan seringkali disalahgunakan. Bentuk perjuangan tersebut menurutnya juga melahirkan ketergantungan yang tinggi pada orang lain yang bukan pengurus organisasi.
Kini, di tengah maraknya perampasan ruang hidup dan tanah yang terjadi di Yogyakarta, Paku Bangsa tidak merasa berjalan sendirian. Bagi Wignya dkk, perjuangan hak atas ruang hidup sudah mulai semakin meluas di Yogyakarta, baik di perkotaan maupun pedesaan. Jadi, ia dkk tidak terlalu khawatir jika sewaktu-waktu datang ancaman penggusuran terhadap mereka. Tuduhan yang sering dialamatkan kepada warga pinggiran sungai adalah perusak lingkungan, segera ia tepis dengan kalimat “Tidak mungkin warga pinggiran sungai merusak lingkungan, karena itu akan menimbulkan dampak langsung kepada mereka. Jikapun fenomena meningkatnya masyarakat yang hidup di pinggir sungai dianggap sebagai masalah, yang terjadi sebenarnya adalah ini akibat dari kebijakan agraria yang salah”, tutupnya.